Oleh: Galuh Nur Fattah, S.Fil
Bali adalah salah satu pulau dengan daya tarik pariwisata dan merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Pada umumnya mayoritas masyarakat Bali memeluk agama Hindu, secara singkat dapat dijelaskan bahwa agama Hindu atau Hinduisme yang berkembang di Bali hampir sama dengan Hinduisme yang pernah mengakar kuat di Pulau Jawa dan merupakan salah satu sekte agama Hindu yang memiliki kedudukan penting yang muncul di India sebelum tahun 500 M[1]. Dalam penelusuran yang dilakukan oleh Haryati Soebadio[2], menemukan bahwa sekte yang mempengaruhi perkembangan agama Hindu di Bali dan Jawa dikenal dengan nama Saivasiddhanta yang sangat merepresentasikan ajaran Siva (Siwa). Sampai saat ini belum ditemukan telaah-telaah komparatif yang memperlihatkan secara langsung hubungan ajaran Saivasiddhanta yang ada di India Selatan dengan yang ada di Bali. Jadi dapat ditarik sebuah kesimpulan sementara bahwa ada sebuah perbedaan pokok di antara keduanya.
Ajaran Saivasiddhanta yang berkembang di Bali dibukukan dalam sebuah kitab yang ditulis dalam enam puluh empat lembar daun lontar dengan huruf-huruf Bali dan diberi nama Jnanasiddhanta, nama ini diambil dari bagian akhir naskah yang berbunyi (1) Iti Jnanasiddhanta-sastram prathamah patalah, (2) Iti Bhasmamantra-sakala vidhi-sastram dvitiyah patalah, (3) Iti Jnanasamksepa-nama sastram trtiyah patalah[3]. Naskah ini meruapkansalah satu naskah penting yang menjadi sumber pengetahunan dalam memahami diri dan realitas. Isi dalam naskah ini menunjukkan ada sebuah toleransi yang tinggi antara ajaran Siwa (Siva) dan Buddha yang memang telah mengakar kuat dalam perkembangan peradaban di Nusantara khususnya peradaban yang ada di Jawa dan Bali. Hal tersebut dibuktikan melalui kutipan Kakawin Sutasoma karya penyair istana Majapahit, Mpu Tantular yang dikutip oleh Haryati Soebadio[4] dalam pembukaan transliterasinya terhadap naskah atau kitab Jnanasiddhanta:
Nahan hetu Bhatara Buddha kahidep putraprameyeng jagat/
Sang Hyang Advaya rama tattva nira san panditanhayvani//
Prajnaparamitebu tan sah i seden ning yoga sanusmrti/
Tan ragodaya bhinna rakva kalavan Hyang Durmukhan at-maja//4//
Pada masa kejayaannya, Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu terbesar yang pernah hampir menguasai seluruh wilayah di Nusantara, namun dalam kutipan Kakawin Sutasoma di atas menjelaskan bahwa telah terjadi sebuah toleransi dan juga komparasi antara ajaran Siwa dan Buddha pada masa itu. Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa Advaya dianggap sebagai ayah, Buddha sebagai putra, sedangkan Prajnaparamita sebagai ibu.
Haryati Soebadio[1] mengutip sebuah pernyataan dari Professor Gonda yang menjelaskan bahwa gejala pertautan antara ajaran Siwa dan Buddha di Indonesia khususnya di pulau Jawa dan Bali, bukanlah sebuah fonomena sinkretisme. Dia menjelaskan bahwa gejala tersebut merupakan sebuah bentuk “koalisi” yang terjadi antara keduanya. Maksudnya, ada sebuah titik temu antara keduanya yang dijadikan sebagai dasar integrasi antara umat Hindu Siwa dan Buddha yang hidup berdampingan saat itu. Jnanasiddhanta mempergunakan istilah-istilah yang menggambarkan pembauran antara konsep-konsep dari agama Hindu dan Buddha, selain itu di dalamnya juga menampilkan bagian-bagian yang sama dengan teks-teks Buddha. Dalam teks yang lain seperti dalam Kunjarakarna ditemukan bahwa kelima Tathagata dari agama Buddha disamakan dengan kelima manifestasi Siwa, hal serupa terjadi juga dalam teks Arjunavijaya. Kalimat yang terdapat dalam Kunjarakarna yang sering dikutip adalah “Kami Siva, kami Buddha”, prinsip tertinggi tersebut menyamakan diri baik dengan Siwa maupun dengan Buddha. Ini sejalan dengan kenyataan bahwa raja Kertanegara dari tanah Jawa dikebumikan dengan nama SivaBuddha. Raja sebagai prinsip tertinggi bagi negaranya, secara logis disamakan juga dengan prinsip-prinsip tertingggi dari agama-agama yang terdapat dalam negaranya.[2] Hal ini menarik karena pada awal sejarahnya Buddhisme lahir di India sebagai bentuk kritik terhadap kesan personal yang digunakan untuk menggambarkan pancaran-pancaran Tuhan yang pribadi dan diberlakukannya sistem kasta dalam Hinduisme, namun yang terjadi di Nusantara, antara ajaran Siwa dan Buddha justru tumbuh dan hidup bersama secara berdampingan.
Pertautan antara ajaran Siwa dan Buddha tersebut bukan tanpa sebab, faktanya ada beberapa titik temu yang menjadi alasan kuat mengapa keduanya rekat. Dalam hal ini adalah ajaran dalam memandang dan memahami realitas, baik realitas diri atau pun realitas di luar diri. Perbincangan mengenai realitas sebagai sesuatu yang ada memang merupakan bagian dari kajian ontologi, namun sebuah status ontologis tertentu terhadap suatu hal tidak mungkin dapat berdiri dengan kokoh tanpa ada kerangka epistemologi yang mendasarinya sebagai sebuah proses untuk mengetahui dan membentuk sebuah klaim ontologi. Secara umum epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat umum yang berbicara mengenai pengetahuan, di sisi yang lain juga dipahami sebagai teori tentang pengetahuan. Pertanyaan sentral dalam epistemologi meliputi; asal usul pengetahuan, letak pengalaman dalam membangkitkan pengetahuan, letak rasio dalam membangkitakan pengetahuan, dan kemustahilan akan kekeliruan.[1] Epistemologi merupakan dasar bagi ilmu pengetahuan untuk muncul dan berkembang, tidak ada satu pun ilmu pengetahuan yang ada saat ini, baik yang sudah mapan atau yang sedang bergerak dalam sebuah proses yang muncul tiba-tiba tanpa sebuah pra-anggapan epistemologis tertentu pada awal kemunculannya. Dalam keterkaitannya dengan kitab atau naskah Jnanasiddhanta yang memeperlihatkan kesinambungan antara ajaran Siwa dan Buddha terdapat sebuah konsep pengetahuan diri yang menjadi dasar bagi diri untuk mengetahui realitas. Konsep tersebut tersebar secara acak dalam setiap bagian yang dijelaskan dalam Jnanasiddhanta yang merupakan satu dari beberapa teks suci yang menjadi kunci ajaran Siwa-Buddha. Oleh sebab itu perlu ada suatu upaya untuk mengurai makna serta membuat kategorisasi-kategorisasi sehingga upaya sistematis terhadap teks tersebut dapat diusahakan, karena pengetahuan yang ada di dalamnya dapat dikatakan sebagai awal bagi sebuah ilmu pengetahuan untuk muncul dengan syarat-syarat metodologis tertentu serta diuji secara ilmiah dengan kurun waktu yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Dalam teks ini pendekatan yang hendak digunakan untuk mengkategorisasikannya adalah dengan menggunakan pendekatan epistemologi sistematis yang sudah ada secara umum.
[embeddoc url=”http://web38.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/913/2018/10/EPISTEMOLOGI-DIRI-DALAM-KITAB-JNANASIDDHANTA.pdf” download=”logged”]