Ketika ilmu dan teknologi (iptek) hadir di ranah akademis dan di tengah kehidupan masyarakat tak terbayangkan berbagai dampak – positif maupun negatif – akan muncul seperti yang kita alami sekarang ini. Betapa waktu kita begitu tersita oleh iptek yang semula dimaksudkan untuk memangkas waktu dengan efisiensi, betapa tenaga dan pikiran kita terkuras oleh iptek yang semula dimaksudkan untuk membantu meringankan beban kita, betapa deras arus informasi menghanyutkan kita yang semula dimaksudkan untuk menambah pengetahuan kita tentang sesuatu, betapa tereksploitasinya alam oleh kedahsyatan iptek yang semula dimaksudkan untuk mempermudah pekerjaan kita beriring dengan alam, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu terjadi lantaran manusia berhenti sebagai majikan atas iptek dan beralih menjadi asisten (istilah keren untuk pembantu atau pelayan), padahal seharusnya iptek mempertimbangkan segala bentuk resiko yang berimbas bagi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Namun realita yang terjadi memperlihatkan kosokbalinya, bahwasanya acapkali kehadiran iptek justeru membawa perubahan yang drastis, sehingga menimbulkan berbagai ekses yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga acapkali merugikan dan menyengsarakan manusia sebagaimana yang ditengara di atas. Aneh tapi nyata, masyarakat awam yang tidak tahu bagaimana proses iptek terbentuk justeru terkena imbas yang paling awal, paling besar, dan paling dirugikan, bahkan di beberapa kasus, masyarakat awam dijadikan sebagai lahan uji coba pengembangan iptek.
Kalau kita masih ingat tentu sambil menengok serpihan sejarah masa lampau, maka proyek bom atom Amerika lebih banyak menelan korban masyarakat sipil di Jepang yang tidak terlibat Perang Dunia II. Dampak pengeboman sangat miris bila dilihat dari perspektif kemanusiaan, karena para hibakusha, yakni korban yang terkena ledakan harus mengalami cacat, penderitaan sepanjang hidupnya, bahkan janin yang tidak tahu menahu banyak yang lahir dalam keadaan cacat. Total korban di Hiroshima dan Nagasaki mencapai angka 220 000 jiwa yang tewas terbakar karena radiasi. Demikian pula korban bom kimia di Vietnam, Iran, dan beberapa negara lainnya. Penyebaran bahan kimia yang dilakukan pasukan Amerika di Vietnam berjenis Agent Orange di pemukiman penduduk, hutan, dan lahan pertanian merusak sumber daya alam dalam waktu panjang. Demikian pula penggunaan bahan kimia berjenis white phosphorus di Irak oleh serdadu Amerika yang dapat membuat korban meleleh.
Dampak negatif iptek tidak hanya terjadi di wilayah perang, di desa dan perkotaan pun hal sama terjadi di masa damai berupa penggunaan pupuk kimia yang semula dimaksudkan untuk menyuburkan tanah dan tanaman, justeru mencemari lingkungan sekitar karena terbawa air, bahkan membunuh mikro organisme, sehingga mengganggu keseimbangan flora. Penggunaan alat-alat kontrasepsi sepert IUD atau spiral untuk mencegah kehamilan dalam bidang medis bukannya tanpa resiko,misalnya: pendarahan, infeksi. Banyak lagi contoh problem yang muncul justeru paska kelahiran sebuah iptek seperti: limbah industri, limbah sampah plastik, dan lain-lain yag menimbulkan kerusakan lingkungan. Ini berarti tidak ada iptek yang sempurna, yang penting menjadi bahan pertimbangan adalah nilai apakah yang melandasi kehadiran iptek di masyarakat? Seberapa besar peran nilai dalam pengembangan iptek? Mungkinkah pengembangan iptek itu kalis dari pengaruh nilai – hal yang selama ini didengungkan oleh penganut positivistis ? Disinilah pentingnya mempertimbangkan kajian aksiologi ilmu sebagai sarana bagi pengembangan iptek berwajah kemanusiaan.
**
Aksiologi ilmu merupakan salah satu cabang filsafat yang membicarakan tentang persoalan dan peran nilai dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Van Melsen menggunakan istilah tanggung jawab ilmu pengetahuan atas masa depan seperti gangguan terhadap keseimbangan alam sebagai dampak pembasmian kimiawi dari hama tanaman, sistem perairan, keseimbangan jumlah penduduk. Dalam hal ini keberatsebelahan menandai setiap campur tangan manusia, sehingga dituntut tanggung jawab yang menimbulkan problem etis yakni ketegangan antara realitas yang ada dengan realitas yang seharusnya (van Melsen, 1985: 69). Problem etis atau dilemma etis yang muncul di tengah kehadiran iptek menunjukkan bahwa ada kesulitan yang tak terelakkan, suatu faktisitas yang mengiringi dinamika perkembangan iptek. Di satu sisi manusia – terutama para ilmuwan – dituntut menghasilkan karya-karya ilmiah yang inovatif, kreatif, berdaya dan berhasil guna bagi masyarakat, namun di pihak lain produk iptek ternyata membawa serta resiko yang harus ditanggung oleh masyarakat. Bola berada di tangan ilmuwan, namun manakala bola itu sudah digelindingkan, maka gerak liar bola tersebut sudah tidak dapat lagi dikuasai oleh para ilmuwan. Disinilah mulai terjadi pertarungan nilai kebaikan dan keburukan dalam arti yang sebenarnya (good and bad). Baik dan buruk menurut Archie Bahm (1984) merupakan dua hal yang berlawanan (the opposite of), bisa bersifat lebih (more) atau kurang (less), setiap manusia mengalaminya (experience), sehingga tugas utama manusia adalah memaksimalkan kebaikan (maximize good) dan meminimalkan keburukan (minimize bad). Disinilah justeru letak persoalannya, sebab bagaimana ilmuwan dapat menentukan tolok ukur baik dan buruk atas sebuah karya ilmiah yang dihasilkannya manaka seluruh pikirannya dicurahkan semata-mata untuk memproduk sesuatu tanpa mempertimbangkan wilayah pre-scientific dan post-scientific. Kedua wilayah tersebut justeru terletak di luar bangunan arsitektural ilmiah. Wilayah pre-scientific terletak di ranah persangkaan, dugaan (presupposition) yang mulai ditinggalkan ilmuwan manakala sudah merambah ke ranah ilmiah murni. Adapun wilayah post-scientific jarang dipertimbangkan ketika produk sudah selesai dengan alasan proyek sudah selesai. Ilmuwan sebagian besar sudah tak punya kuasa (powerless), karena sekarang bola ada di tangan para pemilik modal yang mengendalikan sepenuhnya dengan satu tujuan utama, yakni keuntungan (profit). Ahli-ahli periklanan sebagaimana yang digambarkan dalam film Branded memegang peran besar untuk memasarkan produk iptek dengan berbagai cara untuk menaikkan target penjualan. Lihatalh bagaimana kendaraan roda dua dan roda empat memenuhi jalan-jalan di berbagai kota, namun produk kendaraan otomotif bersaing semakin ketat untuk meningkatkan penjualan dan menarik pembeli, tanpa menghiraukan kemacetan yang terjadi di mana-mana.
Ada beberapa problem aksiologi ilmu yang sangat krusial di era kontemporer yang perlu mendapat perhatian kita.
Pertama; klaim objektivitas ilmiah yang didengungkan para ilmuwan (terutama kaum positivist), sehingga menafikan peran nilai dalam aktivitas ilmiah. Peran nilai (budaya, ideologi, agama) diharamkan oleh penganut positivist karena dianggap mengintervensi hukum-hukum ilmiah yang bersifat otonom.
Kedua; intervensi yang berlebihan atas kerja ilmiah, sehingga mengganggu otonomi dan kebebasan akademis yang dimiliki oleh para ilmuwan. Intervensi bisa muncul dari ranah agama, ideologi, politik, budaya. Contoh yang baru-baru ini terjadi ketika dalam diskusi ilmiah seorang pakar gempa memprediksi terjadi tsunami di wilayah Pangandaran, Jawa Barat.
Ketiga; kegamangan yang menghinggapi para ilmuwan ketika dalam uji coba penelitian yang dilakukan, mereka mendapat penentangan dari kalangan tertentu yang tidak setuju dengan proyek uji coba yang dilakukan. Misalnya: Uji coba di laboratorium dengan menggunakan hewan percobaan ditentang oleh komunitas penyayang binatang.
Problem pertama yang terkait dengan klaim kebenaran objektif di kalangan positivist dapat diajukan pertanyaan sebagai berikut: apa yang dimaksud dengan kebenaran objektif itu? Apakah kebenaran yang terlepas dari keputusan ilmuwan sebagai subjek pengamat, ataukah kebenaran yang didukung bukti-bukti empiris yang kuat? Kalau ilmuwan yang bersangkutan menjawab bahwa kebenaran objektif itu merupakan suatu bentuk kebenaran yang terlepas dari keputusan ilmuwan sebagai subjek pengamat, maka dapat diajukan keberatan, apa peran ilmuwan dalam proses kegiatan ilmiah? Mungkinkah sebuah kegiatan ilmiah berjalan tanpa peran ilmuwan sama sekali? Kalau ilmuwan menjawab bahwa kebenaran objektif merupakan bentuk kebenaran yang didukung bukti-bukti empiris yang kuat, maka dapat diajukan keberatan, apakah setiap pengamatan atas bukti-bukti empiris terjamin kebenarannya? Apa jaminan bahwa pengamatan ilmuwan tidak kalis terhadap kesalahan? Seorang ilmuwan harus menjadi single-minded dan menghargai dirinya sendiri. Oleh karena itu kecintaannya pada kebenaran akan melarutkan dirinya pada jalan ilmiah. Beberapa sikap ilmiah yang ditengarai Peirce dalam karyanya The Scientific Attitude And Fallibilism antara lain; bekerja secara jujur, mencintai kebenaran, bersikap terbuka, menghargai dirinya sendiri, otonom (Peirce, 1998). Sikap ilmiah yang dijunjung tinggi Peirce adalah fallibilisme, yaitu penyelidikan ilmiah yang progresif akan membawa seseorang kepada perubahan yang berlangsung secara terus menerus. Peirce percaya pada chance, peluang, artinya keteraturan alam itu tidak pernah sempurna, tidak ada sesuatu yang pasti. Namun ujar Peirce, doktrin fallibilism jangan disalahpahami bahwa dua kali dua tidak harus sama dengan empat. Falllibilisme perlu diletakkan dalam konteks sikap kritis ilmuwan dalam mencapai pengetahuan yang benar dengan menciptakan dan mengembangkan pikirannya sendiri secara kreatif (Peirce, 1998). Di sini terlihat peran ilmuwan justeru dominan meskipun dalam disiplin ilmu-ilmu eksak, karena membelenggu pikiran ilmuwan justeru akan mematikan kreativitasnya.
Problem kedua yang terkait dengan intervensi yang berlebihan atas kerja ilmiah merupakan bentuk pelemahan atas kedaulatan ilmiah. Proses ilmiah berada di tangan ilmuwan, sehingga harus ada trust ataupun pengakuan terhadap kedaulatan ilmiah, hal ini akan menjamin ilmuwan bekerja dengan sepenuh hati. Intervensi memang tidak dapat dihindarkan, namun seharusnya dapat diminimalisasi supaya tidak mengganggu kinerja ilmuwan. Apalagi gangguan yang sifatnya mengancam, mengultimatum setiap keputusan, diskusi, pemikiran ilmiah yang berpeluang untuk salah. Benar dan salah sudah berupakan resiko tak terhindarkan dalam sebuah aktivitas ilmiah. Tidak ada sebuah keputusan ilmiah yang bersifat sekali jadi, karena selalu terjadi proses dengan berbagai pertimbangan yang bersifat open minded, sehingga mungkin ada proses pengulangan, kesalahan, penyempurnaan, penerimaan di kalangan anggota-angota komunitas ilmiah, dan sebagainya. Kebenaran ilmiah tidak boleh diintervensi secara vulgar oleh pihak lain (apalagi penguasa) sebelum mendapat pertimbangan dari ikatan profesi ilmiah tertentu.
Problem ketiga yang terkait dengan penentangan pihak lain yang tidak setuju dengan proyek uji coba yang melibatkan mahluk hidup merupakan suatu dilemma yang perlu mempertimbangkan resiko yang terjadi. Prinsipnya hewan percobaan juga merupakan mahluk hidup yang berhak menikmati hidup yang nyaman, tidak tersakiti, tidak teraniaya, sehingga perlu memperoleh perlindungan keamanan hidupnya. Percobaan yang membahayakan satu jenis mahluk dengan tujuan untuk kemaslahatan mahluk hidup yang lain perlu pertimbangan nilai yang matang, karena bahaya atas hidup satu mahluk tak tergantikan oleh keselamatan mahluk hidup lainnya. Hal ini lebih dikenal dengan pengorbanan, kalaulah itu yang terjadi maka pengorbanan setidaknya diminimalisasi agar tidak semata-mata diorientasikan bagi keselamatan mahluk hidup lainnya. Ilustrasi yang terjadi dalam dunia medis ketika seorang ibu hamil akan dioperasi karena ada bahaya atas si bayi dalam janin dan si ibu yang mengandung, maka manakah yang harus diselamatkan terlebih dahulu? Jawaban atas dilemma semacam ini tidak selalu mudah untuk dicarikan solusinya mengingat begitu kompleksnya persoalan yang muncul dan situasinya bisa sangat berbeda-beda. Satu hal yang jelas pertimbangan ilmuwan secara subjektif diperkenankan dalam dunia ilmiah sebagaimana yang ditengara Sarkar Husin (1997) sebagai bentuk pertimbangan subjektif (subjective Considerations) yang mencakup aspek estetis, historis, personal, kepentingan bangsa, dan keistimewaan atau keanehan (Idiosyncrasy).
**
Wusana kata bagi artikel ini memberikan penekanan yang kuat justeru bagi otnomi atau kedaulatan ilmuwan, meskipun hal tersebut tidak boleh mengabaikan tanggung jawab etis yang harus diembannya. Setiap ilmuwan akan selalu dihadapkan pada berbagai alternatif yang mungkin terjadi dalam pengembangan iptek yang terus berkembang dan berubah seiring dengan tuntutan jaman, namun seorang ilmuwan tidak diperkenankan mengorbankan kepentingan kemanusiaan untuk mengejar kepentingan lainnya seperti: popularitas, materi, kedudukan, dan sebagainya. Ketika iptek hadir di tengah masyarakat, maka di sana prestise, harkat dan martabat serta keluhuran budi ilmuwan ikut dipertanggungjawabkan atas nama semangat profesionalitas.
***
SUMBER ACUAN
Bahm, Archie J., 1984, Axiology: The Science of Value, Albuquerque, New Mexico.
Chalmers, A.F., Apa Yang Dinamakan Ilmu Itu? (Judul Asli: What is this thing called Science?), Penerbit Hasta Mitra, Jakarta.
Husain, Sarkar: 1997, The Task of Group Rationality: The Subjectivist’s View
Melsen, van, A.G.M., 1985, Wetenschap en Verantwoordelijjkheid, Diterjemahkan oleh: Bertens (Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita), Gramedia, Jakarta.
Peirce, C.S., 1998, Science and Philosophy, Volume 7, Edited by Arthur W.Burks, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, Thoemmes Press, England.
Rollin, Bernard E., Science and Ethics, Cambridge University Press.