• UGM
  • IT Center
Universitas Gadjah Mada KAJIAN FILSAFAT ILMU
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Problematika Ilmu
    • Ilmu dalam Local Wisdom
    • Ilmu dan Metodologi
    • Ilmu, Masyarakat dan Nilai
  • Dialog Antar Ilmu
  • Multimedia Ilmu
  • Beranda
  • Ilmu
  • Aksiologi Ilmu
Arsip:

Aksiologi Ilmu

Dimensi Aksiologi Ilmu Arkeologi

Aksiologi IlmuIlmu dan NilaiMultimedia Ilmu Thursday, 4 October 2018

Ilmu Arkeologi dalam hal ini tidak bisa lepas dari pertimbangan pertimbangan nilai, nilai-nilai yang berada di luar kajian Aksiologi selalu menghantui Ilmu Arkeologi dalam penerapannya, baik itu nilai- nilai keagamaan, dan nilai-nilai yang beralku di komunitas sosial.
Adanya tuntutan terhadap Ilmu Arkeologi yang harus menghormati nilai-nilai sosialitas, menggerakan ilmuwan untuk menyusun dasar dasar etis dalam penerapan ilmu Arkeologi

Aksiologi Ilmu Sebagai Sarana Pengembangan Iptek Berwajah Kemanusiaan

Aksiologi Ilmu Friday, 1 June 2018

Ketika ilmu dan teknologi (iptek) hadir di ranah akademis dan di tengah kehidupan masyarakat tak terbayangkan berbagai dampak – positif maupun negatif – akan muncul seperti yang kita alami sekarang ini. Betapa waktu kita begitu tersita oleh iptek yang semula dimaksudkan untuk memangkas waktu dengan efisiensi, betapa tenaga dan pikiran kita terkuras oleh iptek yang semula dimaksudkan untuk membantu meringankan beban kita, betapa deras arus informasi menghanyutkan kita yang semula dimaksudkan untuk menambah pengetahuan kita tentang sesuatu, betapa tereksploitasinya alam oleh kedahsyatan iptek yang semula dimaksudkan untuk mempermudah pekerjaan kita beriring dengan alam, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu terjadi lantaran manusia berhenti sebagai majikan atas iptek dan beralih menjadi asisten (istilah keren untuk pembantu atau pelayan), padahal seharusnya iptek mempertimbangkan segala bentuk resiko yang berimbas bagi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Namun realita yang terjadi memperlihatkan kosokbalinya, bahwasanya acapkali kehadiran iptek justeru membawa perubahan yang drastis, sehingga menimbulkan berbagai ekses yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga acapkali merugikan dan menyengsarakan manusia sebagaimana yang ditengara di atas. Aneh tapi nyata, masyarakat awam yang tidak tahu bagaimana proses iptek terbentuk justeru terkena imbas yang paling awal, paling besar, dan paling dirugikan,  bahkan di beberapa kasus, masyarakat awam dijadikan sebagai lahan uji coba pengembangan iptek.

Kalau kita masih ingat tentu sambil menengok serpihan sejarah masa lampau, maka proyek bom atom Amerika lebih banyak menelan korban masyarakat sipil di Jepang yang  tidak terlibat Perang Dunia II. Dampak pengeboman sangat miris bila dilihat dari perspektif kemanusiaan, karena para hibakusha, yakni korban yang terkena ledakan harus mengalami cacat, penderitaan sepanjang hidupnya, bahkan janin yang tidak tahu menahu banyak yang lahir dalam keadaan cacat. Total korban di Hiroshima dan Nagasaki mencapai angka 220 000 jiwa yang tewas terbakar karena radiasi. Demikian pula korban bom kimia di Vietnam, Iran, dan beberapa negara lainnya. Penyebaran bahan kimia yang dilakukan pasukan Amerika di Vietnam berjenis Agent Orange di pemukiman penduduk, hutan, dan lahan pertanian merusak sumber daya alam dalam waktu panjang. Demikian pula penggunaan bahan kimia berjenis white phosphorus di Irak oleh serdadu Amerika yang dapat membuat korban meleleh.

Dampak negatif iptek tidak hanya terjadi di wilayah perang, di desa dan perkotaan pun hal sama terjadi di masa damai berupa penggunaan pupuk kimia yang semula dimaksudkan untuk menyuburkan tanah dan tanaman, justeru mencemari lingkungan sekitar karena terbawa air, bahkan membunuh mikro organisme, sehingga mengganggu keseimbangan flora. Penggunaan alat-alat kontrasepsi sepert IUD atau spiral untuk mencegah kehamilan dalam bidang medis bukannya tanpa resiko,misalnya: pendarahan, infeksi. Banyak lagi contoh problem yang muncul justeru paska kelahiran sebuah iptek seperti: limbah industri, limbah sampah plastik, dan lain-lain yag menimbulkan kerusakan lingkungan. Ini berarti tidak ada iptek yang sempurna, yang penting menjadi bahan pertimbangan adalah nilai apakah yang melandasi kehadiran iptek di masyarakat?  Seberapa besar peran nilai dalam pengembangan iptek? Mungkinkah pengembangan iptek itu kalis dari pengaruh nilai – hal yang selama ini didengungkan oleh penganut positivistis ? Disinilah pentingnya mempertimbangkan kajian aksiologi ilmu sebagai sarana bagi pengembangan iptek berwajah kemanusiaan.

**

Aksiologi ilmu merupakan salah satu cabang filsafat yang membicarakan tentang persoalan dan peran nilai dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Van Melsen menggunakan istilah tanggung jawab ilmu pengetahuan atas masa depan seperti gangguan terhadap keseimbangan alam sebagai dampak pembasmian kimiawi dari hama tanaman, sistem perairan, keseimbangan jumlah penduduk. Dalam hal ini keberatsebelahan menandai setiap campur tangan manusia, sehingga dituntut tanggung jawab yang menimbulkan problem etis yakni ketegangan antara realitas yang ada dengan realitas yang seharusnya  (van Melsen, 1985: 69).  Problem etis atau dilemma etis yang muncul di tengah kehadiran iptek menunjukkan bahwa ada kesulitan yang tak terelakkan, suatu faktisitas yang mengiringi dinamika perkembangan iptek. Di satu sisi manusia – terutama para ilmuwan – dituntut menghasilkan karya-karya ilmiah yang inovatif, kreatif, berdaya dan berhasil guna bagi masyarakat, namun di pihak lain produk iptek ternyata membawa serta resiko yang harus ditanggung oleh masyarakat. Bola berada di tangan ilmuwan, namun manakala bola itu sudah digelindingkan, maka gerak liar bola tersebut sudah tidak dapat lagi dikuasai oleh para ilmuwan. Disinilah mulai terjadi pertarungan nilai kebaikan dan keburukan dalam arti yang sebenarnya (good and bad). Baik dan buruk menurut Archie Bahm (1984) merupakan dua hal yang berlawanan (the opposite of), bisa bersifat lebih (more) atau kurang (less), setiap manusia mengalaminya (experience), sehingga tugas utama manusia adalah memaksimalkan kebaikan (maximize good) dan meminimalkan keburukan (minimize bad). Disinilah justeru letak persoalannya, sebab bagaimana ilmuwan dapat menentukan tolok ukur baik dan buruk atas sebuah karya ilmiah yang dihasilkannya manaka seluruh pikirannya dicurahkan semata-mata untuk memproduk sesuatu tanpa mempertimbangkan wilayah pre-scientific dan post-scientific. Kedua wilayah tersebut justeru terletak di luar bangunan arsitektural ilmiah. Wilayah pre-scientific terletak di ranah persangkaan, dugaan (presupposition) yang mulai ditinggalkan ilmuwan manakala sudah merambah ke ranah ilmiah murni. Adapun wilayah post-scientific jarang dipertimbangkan ketika produk sudah selesai dengan alasan proyek sudah selesai. Ilmuwan sebagian besar sudah tak punya kuasa (powerless), karena sekarang bola ada di tangan para pemilik modal yang mengendalikan sepenuhnya dengan satu tujuan utama, yakni keuntungan (profit). Ahli-ahli periklanan sebagaimana yang digambarkan dalam film Branded memegang peran besar untuk memasarkan produk iptek dengan berbagai cara untuk menaikkan target penjualan. Lihatalh bagaimana kendaraan roda dua dan roda empat memenuhi jalan-jalan di berbagai kota, namun produk kendaraan otomotif bersaing semakin ketat untuk meningkatkan penjualan dan menarik pembeli, tanpa menghiraukan kemacetan yang terjadi di mana-mana.

Ada beberapa problem aksiologi ilmu yang sangat krusial di era kontemporer yang perlu mendapat perhatian kita.

Pertama; klaim objektivitas ilmiah yang didengungkan para ilmuwan (terutama kaum positivist), sehingga menafikan peran nilai dalam aktivitas ilmiah. Peran nilai (budaya, ideologi, agama) diharamkan oleh penganut positivist karena dianggap mengintervensi  hukum-hukum ilmiah yang bersifat otonom.

Kedua; intervensi yang berlebihan atas kerja ilmiah, sehingga mengganggu otonomi dan kebebasan akademis yang dimiliki oleh para ilmuwan. Intervensi bisa muncul dari ranah agama, ideologi, politik, budaya. Contoh yang baru-baru ini terjadi ketika dalam diskusi ilmiah seorang pakar gempa memprediksi terjadi tsunami di wilayah Pangandaran, Jawa Barat.

Ketiga; kegamangan yang menghinggapi para ilmuwan ketika dalam uji coba penelitian yang dilakukan, mereka mendapat penentangan dari kalangan tertentu yang tidak setuju dengan proyek uji coba yang dilakukan. Misalnya: Uji coba di laboratorium dengan menggunakan hewan percobaan ditentang oleh komunitas penyayang binatang.

Problem pertama yang terkait dengan klaim kebenaran objektif di kalangan positivist dapat diajukan pertanyaan sebagai berikut: apa yang dimaksud dengan kebenaran objektif itu? Apakah kebenaran yang terlepas dari keputusan ilmuwan sebagai subjek pengamat, ataukah kebenaran yang didukung bukti-bukti empiris yang kuat? Kalau ilmuwan yang bersangkutan menjawab bahwa kebenaran objektif itu merupakan suatu bentuk kebenaran yang terlepas dari keputusan ilmuwan sebagai subjek pengamat, maka dapat diajukan keberatan, apa peran ilmuwan dalam proses kegiatan ilmiah? Mungkinkah sebuah kegiatan ilmiah berjalan tanpa peran ilmuwan sama sekali? Kalau ilmuwan menjawab bahwa kebenaran objektif merupakan bentuk kebenaran yang didukung bukti-bukti empiris yang kuat, maka dapat diajukan keberatan, apakah setiap pengamatan atas bukti-bukti empiris terjamin kebenarannya? Apa jaminan bahwa pengamatan ilmuwan tidak kalis terhadap kesalahan?  Seorang ilmuwan harus menjadi single-minded dan menghargai dirinya sendiri. Oleh karena itu kecintaannya pada kebenaran akan melarutkan dirinya pada jalan ilmiah. Beberapa sikap ilmiah yang ditengarai Peirce dalam karyanya The Scientific Attitude And Fallibilism antara lain; bekerja secara jujur, mencintai kebenaran, bersikap terbuka, menghargai dirinya sendiri, otonom (Peirce, 1998). Sikap ilmiah yang dijunjung tinggi Peirce adalah fallibilisme, yaitu penyelidikan ilmiah yang progresif akan membawa seseorang kepada perubahan yang berlangsung secara terus menerus. Peirce percaya pada chance, peluang, artinya keteraturan alam itu tidak pernah sempurna, tidak ada sesuatu yang pasti. Namun ujar Peirce, doktrin fallibilism  jangan disalahpahami bahwa dua kali dua tidak harus sama dengan empat. Falllibilisme perlu diletakkan dalam konteks sikap kritis ilmuwan dalam mencapai pengetahuan yang benar dengan menciptakan dan mengembangkan pikirannya sendiri secara kreatif (Peirce, 1998).   Di sini terlihat peran ilmuwan justeru dominan meskipun dalam disiplin ilmu-ilmu eksak, karena membelenggu pikiran ilmuwan justeru akan mematikan kreativitasnya.

Problem kedua yang terkait dengan intervensi yang berlebihan atas kerja ilmiah merupakan bentuk pelemahan atas kedaulatan ilmiah. Proses ilmiah berada di tangan ilmuwan, sehingga harus ada trust ataupun pengakuan terhadap kedaulatan ilmiah, hal ini akan menjamin ilmuwan bekerja dengan sepenuh hati. Intervensi memang tidak dapat dihindarkan, namun seharusnya dapat diminimalisasi supaya tidak mengganggu kinerja ilmuwan. Apalagi gangguan yang sifatnya mengancam, mengultimatum setiap keputusan, diskusi, pemikiran ilmiah yang berpeluang untuk salah. Benar dan salah sudah berupakan resiko tak terhindarkan dalam sebuah aktivitas ilmiah. Tidak ada sebuah keputusan ilmiah yang bersifat sekali jadi, karena selalu terjadi proses dengan berbagai pertimbangan yang bersifat open minded, sehingga mungkin ada proses pengulangan, kesalahan, penyempurnaan, penerimaan di kalangan anggota-angota komunitas ilmiah, dan sebagainya. Kebenaran ilmiah tidak boleh diintervensi secara vulgar oleh pihak lain (apalagi penguasa) sebelum mendapat pertimbangan dari ikatan profesi ilmiah tertentu.

Problem ketiga yang terkait dengan penentangan pihak lain yang tidak setuju dengan proyek uji coba yang melibatkan mahluk hidup merupakan suatu dilemma yang perlu mempertimbangkan resiko yang terjadi. Prinsipnya hewan percobaan juga merupakan mahluk hidup yang berhak menikmati hidup yang nyaman, tidak tersakiti, tidak teraniaya, sehingga perlu memperoleh perlindungan keamanan hidupnya. Percobaan yang membahayakan satu jenis mahluk dengan tujuan untuk kemaslahatan mahluk hidup yang lain perlu pertimbangan nilai yang matang, karena bahaya atas hidup satu mahluk tak tergantikan oleh keselamatan mahluk hidup lainnya. Hal ini lebih dikenal dengan pengorbanan, kalaulah itu yang terjadi maka pengorbanan setidaknya diminimalisasi agar tidak semata-mata diorientasikan bagi keselamatan mahluk hidup lainnya. Ilustrasi yang terjadi dalam dunia medis ketika seorang ibu hamil akan dioperasi karena ada bahaya atas si bayi dalam janin dan si ibu yang mengandung, maka manakah yang harus diselamatkan terlebih dahulu? Jawaban atas dilemma semacam ini tidak selalu mudah untuk dicarikan solusinya mengingat begitu kompleksnya persoalan yang muncul dan situasinya bisa sangat berbeda-beda. Satu hal yang jelas pertimbangan ilmuwan secara subjektif diperkenankan dalam dunia ilmiah sebagaimana yang ditengara Sarkar Husin (1997) sebagai bentuk pertimbangan subjektif (subjective Considerations) yang mencakup aspek estetis, historis, personal, kepentingan bangsa, dan keistimewaan atau keanehan (Idiosyncrasy).

**

Wusana kata bagi artikel ini memberikan penekanan yang kuat justeru bagi otnomi atau kedaulatan ilmuwan, meskipun hal tersebut tidak boleh mengabaikan tanggung jawab etis yang harus diembannya. Setiap ilmuwan akan selalu dihadapkan pada berbagai alternatif yang mungkin terjadi dalam pengembangan iptek yang terus berkembang dan berubah seiring dengan tuntutan jaman, namun seorang ilmuwan tidak diperkenankan mengorbankan kepentingan kemanusiaan untuk mengejar kepentingan lainnya seperti: popularitas, materi, kedudukan, dan sebagainya. Ketika iptek hadir di tengah masyarakat, maka di sana prestise, harkat dan martabat serta keluhuran budi ilmuwan ikut dipertanggungjawabkan atas nama semangat profesionalitas.

***


SUMBER ACUAN

Bahm, Archie J., 1984, Axiology: The Science of Value, Albuquerque, New Mexico.

Chalmers, A.F., Apa Yang Dinamakan Ilmu Itu? (Judul Asli: What is this thing called Science?), Penerbit Hasta Mitra, Jakarta.

Husain, Sarkar: 1997, The Task of Group Rationality: The Subjectivist’s View

Melsen, van, A.G.M., 1985, Wetenschap en Verantwoordelijjkheid, Diterjemahkan oleh: Bertens (Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita), Gramedia, Jakarta.

Peirce, C.S.,  1998, Science and Philosophy, Volume 7, Edited by Arthur W.Burks,  Collected Papers of Charles Sanders Peirce, Thoemmes Press, England.

Rollin, Bernard E., Science and Ethics, Cambridge University Press.

Relasi Ilmu Dan Nilai Dalam Perspektif Filsafat Ilmu; Sebuah Benang Merah Pandangan Islam

Aksiologi IlmuIlmu dan Nilai Tuesday, 28 November 2017

Ketika ilmu Pengetahuan di Eropah berkembang sangat pesat pasca Renaissance, padahal sebelumnya peradaban manusia lebih dikuasai oleh kaum theolog yang kedudukannya dianggap setara dengan para ilmuwan. Artinya ilmuwan pada masa itu berkedudukan sebagai theolog atau sebaliknya theolog yang berkedudukan sebagai ilmuwan, sehingga pemikiran ilmiah bercampur dengan doktrin agama. Keadaan semacam ini menimbulkan berbagai dampak. Dampak pertama berupa peran ganda yang dimainkan theolog sebagai ilmuwan atau ilmuwan sebagai theolog menjadikan objektivitas ilmiah sulit untuk ditegakkan. Dampak kedua adalah kehadiran pemikiran ilmiah yang bercampur aduk dengan doktrin keagamaan, sehingga terjadi kegamangan dalam aktivitas ilmiah. Dampak ketiga berupa intervensi doktrin keagamaan ke dalam prosedur ilmiah telah menisbikan proses sekaligus produk ilmiah, sehingga netralitas ilmu menjadi terganggu.

Hal yang terjadi di Eropa sebagaimana dikemukakan di atas itu tidaklah terjadi dalam peradaban Islam. Ali Kettani, salah seorang pemikir Islam kontemporer menengarai bahwa peradaban Islam di abad pertengahan justeru mengalami jaman keemasan (Golden Age) yang ditandai dengan didirikannya Baytul Hikmah di Bagdad sebagai sarana ilmiah yang representatif pada masa itu dengan berbagai koleksi karya ilmiah. Lebih lanjut Ali Kettani menegaskan karakteristik peradaban Islam pada masa itu ditandai dengan beberapa ciri seperti: Universalisme yang mengatasi semangat parokialisme; penghargaan yang tinggi terhadap para ilmuwan (respectiveness); toleransi di kalangan ilmwan dari berbagai agama; pemasaran internasional bagi produk ilmiah. Parvez Mansoor, salah seorang pemikir Islam lainnya menambahkan karakteristik penting, yaitu kesesuaian antara sarana (means) dan tujuan (ends) sejalan dengan norma-norma agama. Penanda terakhir ini yang menjadi fokus kajian dalam artikel ini, karena dahsyatnya pengaruh Renaissance di Eropa dalam kehidupan ilmiah di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia, menjadikan relasi antara ilmu dan nilai tidak begitu harmonis, bahkan nilai atau norma-norma agama dianggap sebagai pengganggu bagi pengembangan ilmiah.  Bagaimana relasi ilmu dan nilai dalam kehidupan ilmiah sekarang ini? Bagaimana peran agama (Islam) dalam membangun kondisi yang kondusif bagi perkembangan ilmu? Persoalan inilah yang akan ditelusuri lebih lanjut dalam artikel ini.

Tulisan selengkapnya dapat anda baca disini

[E-Book] A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth edition by John Losee

Aksiologi IlmuEpistemologi IlmuOntologi Ilmu Friday, 28 July 2017

A decision on the scope of the philosophy of science is a precondition for writing about its history. Unfortunately, philosophers and scientists are not in agreement on the nature of the philosophy of science. Even practising philosophers of science often disagree about the proper subject-matter of their discipline. An example of this lack of agreement is the exchange between Stephen Toulmin and Ernest Nagel on whether philosophy of science should be a study of scientific achievement in vivo, or a study of problems of explanation and confirmation as reformulated in the terms of deductive logic.1 To establish a basis for the subsequent historical survey, it will be helpful to sketch four viewpoints on the philosophy of science.

One view is that the philosophy of science is the formulation of worldviews that are consistent with, and in some sense based on, important scientific theories. On this view, it is the task of the philosopher of science to elaborate the broader implications of science. This may take the form of speculation about ontological categories to be used in speaking about “beingas-such”. Thus Alfred North Whitehead urged that recent developments in physics require that the categories ‘substance’ and ‘attribute’ be replaced by the categories ‘process’ and ‘influence’.2 Or it may take the form of pronouncements about the implications of scientific theories for the evaluation of human behaviour, as in Social Darwinism and the theory of ethical relativity. The present study is not concerned with “philosophy of science” in this sense.

A second view is that the philosophy of science is an exposition of the presuppositions and predispositions of scientists. The philosopher of science may point out that scientists presuppose that nature is not capricious, and that there exist in nature regularities of sufficiently low complexity to be accessible to the investigator. In addition, he may uncover the preferences of scientists for deterministic rather than statistical laws, or for mechanistic rather than teleological explanations. This view tends to assimilate philosophy of science to sociology.

A third view is that the philosophy of science is a discipline in which the concepts and theories of the sciences are analysed and clarified. This is not a matter of giving a semi-popular exposition of the latest theories. It is, rather, a matter of becoming clear about the meaning of such terms as ‘particle’, ‘wave’, ‘potential’, and ‘complex’ in their scientific usage.

But as Gilbert Ryle has pointed out, there is something pretentious about this view of the philosophy of science—as if the scientist needed the philosopher of science to explain to him the meanings of scientific concepts.3 There would seem to be two possibilities. Either the scientist does understand a concept that he uses, in which case no clarification is required. Or he does not, in which case he must inquire into the relations of that concept to other concepts and to operations of measurement. Such an inquiry is a typical scientific activity. No one would claim that each time a scientist conducts such an inquiry he is practising philosophy of science. At the very least, we must conclude that not every analysis of scientific concepts qualifies as philosophy of science. And yet it may be that certain types of conceptual analysis should be classified as part of the philosophy of science. This question will be left open, pending consideration of a fourth view of the philosophy of science. A fourth view, which is the view adopted in this work, is that philosophy of science is a second-order criteriology. The philosopher of science seeks answers to such questions as: 1. What characteristics distinguish scientific inquiry from other types of investigation? 2. What procedures should scientists follow in investigating nature? 3. What conditions must be satisfied for a scientific explanation to be correct? 4. What is the cognitive status of scientific laws and principles? To ask these questions is to assume a vantage-point one step removed from the practice of science itself. There is a distinction to be made between doing science and thinking about how science ought to be done. The analysis of scientific method is a second-order discipline, the subject-matter of which is the procedures and structures of the various sciences.

The fourth view of the philosophy of science incorporates certain aspects of the second and third views. For instance, inquiry into the predispositions of scientists may be relevant to the problem of evaluating scientific theories. This is particularly true for judgements about the completeness of explanations. Einstein, for example, insisted that statistical accounts of radioactive decay were incomplete. He maintained that a complete interpretation would enable predictions to be made of the behaviour of individual atoms. level discipline subject-matter 1 Philosophy of Science Analysis of the Procedures and Logic of Scientific Explanation  Science Explanation of Facts  Facts  introduction In addition, analyses of the meanings of concepts may be relevant to the demarcation of scientific inquiry from other types of investigation. For instance, if it can be shown that a term is used in such a way that no means are provided to distinguish its correct application from incorrect application, then interpretations in which the concept is embedded may be excluded from the domain of science. Something like this took place in the case of the concept ‘absolute simultaneity’. The distinction which has been indicated between science and philosophy of science is not a sharp one. It is based on a difference of intent rather than a difference in subject-matter. Consider the question of the relative adequacy of Young’s wave theory of light and Maxwell’s electromagnetic theory. It is the scientist qua scientist who judges Maxwell’s theory to be superior. And it is the philosopher of science (or the scientist qua philosopher of science) who investigates the general criteria of acceptability that are implied in judgements of this type. Clearly these activities interpenetrate. The scientist who is ignorant of precedents in the evaluation of theories is not likely to do an adequate job of evaluation himself. And the philosopher of science who is ignorant of scientific practice is not likely to make perceptive pronouncements on scientific method. Recognition that the boundary-line between science and philosophy of science is not sharp is reflected in the choice of subject-matter for this historical survey. The primary source is what scientists and philosophers have said about scientific method. In some cases this is sufficient. It is possible to discuss the philosophies of science of Whewell and Mill, for example, exclusively in terms of what they have written about scientific method. In other cases, however, this is not sufficient. To present the philosophies of science of Galileo and Newton, it is necessary to strike a balance between what they have written about scientific method and their actual scientific practice. Moreover, developments in science proper, especially the introduction of new types of interpretation, subsequently may provide grist for the mill of philosophers of science. It is for this reason that brief accounts have been included of the work of Euclid, Archimedes, and the classical atomists, among others.

Continue for reading

Universitas Gadjah Mada

Alamat Kami

Jl. Olahraga, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY