Ilmu Arkeologi dalam hal ini tidak bisa lepas dari pertimbangan pertimbangan nilai, nilai-nilai yang berada di luar kajian Aksiologi selalu menghantui Ilmu Arkeologi dalam penerapannya, baik itu nilai- nilai keagamaan, dan nilai-nilai yang beralku di komunitas sosial.
Adanya tuntutan terhadap Ilmu Arkeologi yang harus menghormati nilai-nilai sosialitas, menggerakan ilmuwan untuk menyusun dasar dasar etis dalam penerapan ilmu Arkeologi
Aksiologi Ilmu
Ketika ilmu dan teknologi (iptek) hadir di ranah akademis dan di tengah kehidupan masyarakat tak terbayangkan berbagai dampak – positif maupun negatif – akan muncul seperti yang kita alami sekarang ini. Betapa waktu kita begitu tersita oleh iptek yang semula dimaksudkan untuk memangkas waktu dengan efisiensi, betapa tenaga dan pikiran kita terkuras oleh iptek yang semula dimaksudkan untuk membantu meringankan beban kita, betapa deras arus informasi menghanyutkan kita yang semula dimaksudkan untuk menambah pengetahuan kita tentang sesuatu, betapa tereksploitasinya alam oleh kedahsyatan iptek yang semula dimaksudkan untuk mempermudah pekerjaan kita beriring dengan alam, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu terjadi lantaran manusia berhenti sebagai majikan atas iptek dan beralih menjadi asisten (istilah keren untuk pembantu atau pelayan), padahal seharusnya iptek mempertimbangkan segala bentuk resiko yang berimbas bagi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Namun realita yang terjadi memperlihatkan kosokbalinya, bahwasanya acapkali kehadiran iptek justeru membawa perubahan yang drastis, sehingga menimbulkan berbagai ekses yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga acapkali merugikan dan menyengsarakan manusia sebagaimana yang ditengara di atas. Aneh tapi nyata, masyarakat awam yang tidak tahu bagaimana proses iptek terbentuk justeru terkena imbas yang paling awal, paling besar, dan paling dirugikan, bahkan di beberapa kasus, masyarakat awam dijadikan sebagai lahan uji coba pengembangan iptek.
Ketika ilmu Pengetahuan di Eropah berkembang sangat pesat pasca Renaissance, padahal sebelumnya peradaban manusia lebih dikuasai oleh kaum theolog yang kedudukannya dianggap setara dengan para ilmuwan. Artinya ilmuwan pada masa itu berkedudukan sebagai theolog atau sebaliknya theolog yang berkedudukan sebagai ilmuwan, sehingga pemikiran ilmiah bercampur dengan doktrin agama. Keadaan semacam ini menimbulkan berbagai dampak. Dampak pertama berupa peran ganda yang dimainkan theolog sebagai ilmuwan atau ilmuwan sebagai theolog menjadikan objektivitas ilmiah sulit untuk ditegakkan. Dampak kedua adalah kehadiran pemikiran ilmiah yang bercampur aduk dengan doktrin keagamaan, sehingga terjadi kegamangan dalam aktivitas ilmiah. Dampak ketiga berupa intervensi doktrin keagamaan ke dalam prosedur ilmiah telah menisbikan proses sekaligus produk ilmiah, sehingga netralitas ilmu menjadi terganggu.
A decision on the scope of the philosophy of science is a precondition for writing about its history. Unfortunately, philosophers and scientists are not in agreement on the nature of the philosophy of science. Even practising philosophers of science often disagree about the proper subject-matter of their discipline. An example of this lack of agreement is the exchange between Stephen Toulmin and Ernest Nagel on whether philosophy of science should be a study of scientific achievement in vivo, or a study of problems of explanation and confirmation as reformulated in the terms of deductive logic.1 To establish a basis for the subsequent historical survey, it will be helpful to sketch four viewpoints on the philosophy of science.