Ilmu Arkeologi dalam hal ini tidak bisa lepas dari pertimbangan pertimbangan nilai, nilai-nilai yang berada di luar kajian Aksiologi selalu menghantui Ilmu Arkeologi dalam penerapannya, baik itu nilai- nilai keagamaan, dan nilai-nilai yang beralku di komunitas sosial.
Adanya tuntutan terhadap Ilmu Arkeologi yang harus menghormati nilai-nilai sosialitas, menggerakan ilmuwan untuk menyusun dasar dasar etis dalam penerapan ilmu Arkeologi
Ilmu dan Nilai
Ketika ilmu Pengetahuan di Eropah berkembang sangat pesat pasca Renaissance, padahal sebelumnya peradaban manusia lebih dikuasai oleh kaum theolog yang kedudukannya dianggap setara dengan para ilmuwan. Artinya ilmuwan pada masa itu berkedudukan sebagai theolog atau sebaliknya theolog yang berkedudukan sebagai ilmuwan, sehingga pemikiran ilmiah bercampur dengan doktrin agama. Keadaan semacam ini menimbulkan berbagai dampak. Dampak pertama berupa peran ganda yang dimainkan theolog sebagai ilmuwan atau ilmuwan sebagai theolog menjadikan objektivitas ilmiah sulit untuk ditegakkan. Dampak kedua adalah kehadiran pemikiran ilmiah yang bercampur aduk dengan doktrin keagamaan, sehingga terjadi kegamangan dalam aktivitas ilmiah. Dampak ketiga berupa intervensi doktrin keagamaan ke dalam prosedur ilmiah telah menisbikan proses sekaligus produk ilmiah, sehingga netralitas ilmu menjadi terganggu.
Sebagian orang percaya bahwa segala sesuatu harus dipandang secara ilmiah. Hal ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh proyek Pencerahan yang banyak memberikan perhatian kepada rasio atau akal. Dalam batas tertentu muncul apa yang kita kenali sekarang sebagai rasionalisme yang secara spontan tidak jarang diposisikan sebagai tolok ukur bagi, tidak hanya kegiatan ilmiah, kehidupan sehari-hari. Padahal, rasionalisme dalam wacana filsafat ilmu hanya menjadi salah satu paham yang tidak lepas dari kecacatan. Tidak jarang kecacatan yang sedemikian rupa seringkali diterima sebagian orang dengan ketidaktahuan yang kompleks dan diyakini layaknya agama atau kepercayaan tersendiri.