Sebagai salah satu local wisdom (kearifan lokal), tradisi nyadran memiliki nilai-nilai tasawuf sosial yang erat kaitannya antara manusia (hablum minannas), alam (hablum minalalam), dan Tuhan (hablum minallah). Selama ini banyak tradisi lokal memiliki nilai-nilai tasawuf tinggi. Selain nyadran, di Nusantara ini ada tradisi sedekah bumi (kabumi), sedekah laut (kalaut), megengan, maleman, krayahan, bacakan, gas deso, apeman, oncoran, dan lainnya.
Meski nilai-nilai dalam nyadran tinggi, namun masih sedikit yang meneliti dan mengembangkannya sebagai ilmu tasawuf. Saat ini, masyarakat justru terjebak pada faham takfiri (mengafirkan), tabdi’ (mebidahkan), dan tasyri’ (mensyirikkan). Mereka belum meneliti, mengkaji secara ontologi, epistemologi, dan aksiologi, namun buru-buru mengklaim dan mengasumsikan secara subjektif.
Perkembangan teknologi super cepat dan kita sekarang berada di era Revolusi Industri 4.0 memang membawa dampak disruption (ketercerabutan) dari berbagai aspek. Maka wajar jika Maksum (2002: 4) berpendapat, modernisme justru membawa dampak terhadap terjadinya kerancuan dan penyimpangan nilai-nilai kemanusiaan (dehumanisasi).
Manusia modern kian dihinggapi oleh rasa cemas dan kehilangan visi keilahian serta kehilangan dimensi transcendental, sehingga mudah dihinggapi kegersangan dan krisis spiritual. Sebagai akibatnya, manusia modern sering dihinggapi penyakit stress, depresi dan alienasi. Mereka teralienasi dari dirinya sendiri, dari lingkungan sosialnya, dan yang terpenting lagi dari Tuhannya.
Solusinya alternatisnya, berupa pemertahanan kearifan lokal dengan penguatan tasawuf. Sebagai disiplin ilmu tarekat, tasawuf menjadi urgen dikembangkan di era milenial ini. Mengapa? Karena relasi antara manusia, alam, dan Tuhan, sangat kental dalam tradisi lokal, salah satunya nyadran. Tak hanya untuk kepentingan manusia dengan manusia, namun orang Jawa sangat identik dengan budaya religiositas yang dibalut dengan kearifan lokal.
Dalam konteks sosial, nyadran menjadi rangkaian budaya mulai dari pembersihan makam leluhur, wali, pahlawan, tabur bunga dan mendoakan arwah pendahulu yang berjasa. Di sejumlah tempat, nyadran berkembang menjadi “paket wisata” budaya-religi karena unik dan hanya ada di Nusantara ini.
Kearifan lokal di Nusantara memang unik. Hampir tiap tradisinya berkaitan dengan Tuhan, alam, dan manusia. Contohkan saja nyadran, selain laku budaya, tradisi ini sarat akan laku tasawuf. Selain makan-makan, sedekah, mereka melakukan doa-doa dan membaca ayat Alquran sebagai wujud penyerahan nasib pada Tuhan. Tradisi ini harus dijaga sebagai khazanah budaya, identitas bangsa yang menjadi wujud laku tasawuf dan wajib dikuatkan.
Konsep Nyadran
Idiom nyadran sudah menasional meski tidak semua orang tahu. Dari aspek etimologis, nyadran diambil dari berbagai bahasa. Pertama, bahasa Indonesia, dalam KBBI (2009), sadran-menyadran diartikan mengunjungi makam pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur (ayah, ibu, dan lainnya) dengan membawa bunga atau sesajian.
Kedua, bahasa Sanskerta, sraddha artinya “keyakinan”. Ketiga, nyadran dalam Bahasa Jawa berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban lantaran dilakukan sebelum Ramadan.
Keempat, nyadran diambil dari Bahasa Arab, shodrun yang berarti dada. Khamim (2018) berpendapat menjelang Ramadan, masyarakat harus ndodo (introspeksi diri), menyucikan diri dari aspek lahir dan batin (Ibda, 2018) .
Kelima, nyadran merupakan salah satu bentuk upacara tradisional di pulau Jawa, peninggalan Hindu yang dipadukan ajaran Islam. Dalam nyadran terdapat ritual sebagai perwujudan rasa syukur kepada Sang Pencipta (Noer, 2015:1).
Keenam, nyadran merupakan tradisi masyarakat Jawa yang awalnya dari masyarakat dengan kepercayaan Hindu sejak abad 13 M. Masuknya ajaran Islam di Jawa oleh Walisongo, mengakibatkan nyadran mengalami islamisasi. Nyadran diadakan di bulan Ruwah sebelum bulan puasa Ramadan, tepatnya pada hari Kamis Legi dan Jumat Kliwon. Nyadran salah satu bentuk komunikasi ritual yang dipercaya mampu menghubungkan kepada para leluhur dan Sang Pencipta (Anam, 2017: 83).
Dari pendapat KBBI (2009), Khamim (2018) (Ibda, 2018), Noer (2015) dan Anam 2017, dapat disimpulkan nyadran merupakan tradisi Jawa yang diadopsi dari ajaran Hindu sejak abad 13 M. Kemudian, diubah Walisongo menjadi islami. Selain berhubungan dengan manusia dan alam, nyadran sarat akan laku tasawuf karena berhubungan dengan leluhur dan Sang Pencipta.
Di berbagai daerah, nyadran memiliki idiom dan praktik beda. Di Semarang, Demak, Kendal, dan lainnya, para warga datang ke kuburan mendoakan leluhur/kedua orang tua. Ada yang membawa makanan dan ada yang tidak. Di Grobogan, Pati, dan sekitarnya, selain berkunjung ke kuburan, nyadran disebut megengan dipraktikkan lewat tasyakuran bersama di musala/masjid sebelum Ramadan.
Di Blora, nyadran dipraktikkan dengan besik kubur (membersihkan kuburan) dari kotoran dan biasanya dibarengkan dengan sedekah bumi atau gas deso. Di Temanggung, Magelang, Salatiga, Solo, Jogjakarta, nyadran dilakukan di tiap dusun atau kampung dengan berziarah ke kuburan. Mereka melakukan tahlil, doa bersama, meminta ampunan dan keseimbangan dengan alam.
Nilai-nilai Tasawuf Nyadran
Nyadran memiliki nilai adhiluhung karena wujud relasi antara manusia, leluhur, alam, dan Tuhan sebagai wujud laku tasawuf. Di era Revolusi Industri 4.0 ini, pola dan praktik nyadran harus dikuatkan untuk pengembangan ilmu tasawuf agar bisa diterima semua masyarakat yang majemuk.
Azra (1994: 35) menjelaskan peran tasawuf begitu besar bagi kehidupan. Para sufi pengembara terutama yang melakukan penyiaran di Nusantara berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara sejak abad ke-13. Faktor utama keberhasilan konversi itu berupa kemampuan mereka menyajikan Islam dalam kemasan atraktif, terutama menekankan kesesuaian dengan Islam daripa melakukan perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal.
Dalam pengembangan tasawuf, Qomar (2014: 254-255) menemukan delapan macam tawaran konsep tasawuf, yaitu tasawuf sosial, positif, perkotaan, falsafi, irfani, kontekstual, Jawa dan tasawuf Muhammadiyah. Tasawuf merupakan kehidupan dengan selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah melalui peningkatan dan penyempurnaan ibadah wajib maupun ibadah sunnah.
Dalam Islam ada dua jenis ibadah, mulai dari mahzah/wajib berupa rukun Islam itu sendiri, dan ibadah muamalah di luar ibadah mahzah. Nyadran di sini, merupakan bagian dari ibadah mualamah di luar ibadah wajib/mahzah yaitu syahadat, salat, zakat, puasa dan haji. Dalam tradisi ini, banyak sekali nilai-nilai terkandung. Tak hanya nilai sosial, namun spiritual karena erat kaitannya dengan leluhur dan Tuhan.
Penelitian Anam (2017: 82) menemukan beberapa nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi nyadran. Pertama, nilai gotong royong. Kedua, nilai persatuan dan kesatuan. Ketiga, nilai musyawarah. Keempat, nilai pengendalian sosial. Kelima, nilai kearifan lokal yang ditunjukkan pada saat memberikan makanan yang dibawa untuk diberikan kepada warga yang datang nyadran.
Melihat praktiknya, nyadran tak hanya berdimensi sosial dengan manusia, dan alam, namun juga dengan Tuhan. Dinamika ini sangat tepat sebagai metode dakwah dan pengembangan tasawuf sebagai salah satu wahana menciptakan kemesraan kehidupan. Melalui pendekatan ini, para Walisongo dulu mampu mengubah laku tasawuf yang berbau mistis, disulap sangat islami dan rasional. Kendurinya masih, namun doa-doa diganti dengan kalimat tayibah, tahlil, tahmid, dan lainnya.
Penjelasan Azra (1994), Qomar (2014), dan Anam (2017) di atas, dapat disimpulkan sejarah perkembangan ilmu tasawuf tak bisa lepas dari penggabungan nilai-nilai Islam yang atraktif dengan budaya lokal. Nilai-nilai Islam dalam tasawuf sosial itu kemudian ditransformasikan melalui nyadran yang di dalamnya terkandung nilai gotong-royong, persatuan, kesatuan, musyawarah, pengendalian sosial, dan kearifan lokal.
Nyadran membangun masyarakat menjadi seimbang dan sesuai ruh Islam. Lewat nyadran, masyarakat mampu menciptakan “kemesraan rohani” antara manusia, alam dan Tuhan. Nyadran tak hanya urusan religi, namun erat kaitannya dengan budaya, nasionalisme, bahkan pariwisata. Pemahaman nyadran harus komprehensif dan berbasis masa depan. Lewat nyadran bangsa ini menjadi besar karena memegang teguh identitas, kearifan lokal, dan nasionalisme.
Di tengah gempuran faham konservatif dan radikal saat ini, masyarakat harus melestarikan nyadran. Tujuannya membentengi berkembangnya ideologi terorisme dan transnasional yang mengusik NKRI. Adanya faham takfiri, tabdi’, tasyri’ merupakan bentuk pemahaman Islam konservatif, kaku, dan doktriner tanpa memandang realitas sosial dan kearifan lokal. Puncaknya, faham ini berbentuk tindakan keji berupa merusak sampai ngebom, padahal teror bukan jihad dan ajaran Islam.
Agama tak sekadar urusan doktrin ideologis. Agama harus dipahami sebagai realitas sosial dan buday alokal. Maka perbuatan sehari-hari tak boleh kaku karena harus sesuai konteks, lingkungan, budaya dan kebutuhan zaman. Orang berfaham kaku dan konservatif cenderung inferior dengan bangsanya sendiri karena tak memiliki spirit nasionalisme. Mereka berfaham “yang lain salah kecuali aku”. Seolah-seolah surga sudah “dikapling” dan yang tak sefaham tempatnya di neraka. Jika demikian, wajar jika ada aksi terorisme.
Cara dakwah mereka pun “memukul” bukan merangkul. Doktrin jihad harusnya memajukan justru menjadi “jahat”. Dari sini, tradisi nyadran menjadi bagian menggerakkan dan menguatkan kearifan lokal lewat laku tasawuf sosial. Jika masyarakat semuanya berbudaya dan bertasawuf, tak mungkin ada pengeboman karena mereka mesra dengan manusia, alam, dan Tuhan.
Penguatan Tasawuf Sosial
Tasawuf sosial yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan, ketuhanan, dan peduli lingkungan lewat nyadran harus dikuatkan melalui pengembangan ilmu tasawuf. Syukur (2004:vi-ix) menjelaskan ajaran tasawuf dapat diaplikasikan di masyarakat dengan syarat bisa membumi dan aplikatif.
Tasawuf sosial harus dipegang masyarakat, terutama para pelaku pembangunan dengan tujuan kesan negatif bagi masyarakat muslim Indonesia dapat dihilangkan. Apalagi, belakangan stigam terorisme bersumber dari Islam sangat lekat. Maka nyadran sebagai bentuk membentengi faham radikal harus dikuatkan melalui pendekatan tasawuf sosial.
Ketika Islam masuk di lingkungan masyarakat Jawa, aspek Islam yang dekat dengan tradisi Kejawen adalah ajaran mistiknya, yaitu tasawuf. Hal ini terlihat jelas dari pandangan hidup orang Jawa yang memiliki kesamaan konsep dengan tasawuf. Misalnya; urip iku sademo nglampahi, narimo ing pandum, sumarah, sabar, manunggaling kawulo gusti, sangkan paraning dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana dan sebagainya (Haryanto, 2014: 280).
Pola seperti ini menghasilkan ilmu kehidupan yang tanpa disadari mendarahdaging dalam kehidupan masyarakat Jawa yang beragama Islam. Maka penguatan tasawuf sosial ini harus dikembangkan dengan pendekatan kearifan lokal yang erat kaitannya dengan tradisi, budaya, dan keinginan masyarakat. Lewat gerakan ini, tasawuf sosial bisa eksis, karena masyarakat dibekali dengan ilmu pengetahuan yang sangat dekat dengan tradisinya.
Asmaraman (1994: 383) menjelaskan eksistensi tasawuf dapat dilihat dengan pendekatan sistem yang di dalamnya tersusun 5 komponen. Meliputi input, konversi, output, lingkungan dan feedback, dan terdiri atas unsur-unsur pokok berupa da’i, mad’u, materi, media dan metode dakwah.
Berdasarkan uraian Syukur (2004), Haryanto (2014), Asmaraman (1994) di atas, dapat disimpulkan penguatan tasawuf sosial dapat dilakukan melalui pengembangan ilmu tasawuf lewat tradisi nyadran. Ajaran tasawuf yang dapat diaplikasikan di masyarakat harus dekat dengan tradisi lokal, populer, membumi dan aplikatif.
Pendekatannya, bisa melalui lima komponen. Pertama, input berupa penjelasan ulang bahwa nyadran mengandung nilai-nilai tasawuf yang tinggi dalam aspek sosial, peduli lingkungan, bahkan transenden. Nyadran bisa dijelaskan pada masyarakat lewat realitas sosial dan budaya mereka, bukan indoktrinasi dan berbasis ideologis.
Kedua, konversi nyadran bisa dikembangkan pada aspek wisata berbasis budaya dan religi. Ketiga, output dari tradisi ini bisa dilakukan melalui adanya pesta budaya yang menghasilkan peduli sosial, cinta Tuhan dan cinta lingkungan.
Keempat, lingkungan yang diajak menguatkan tradisi nyadran bisa dipetakan, antara yang mendukung dan kontra. Sebab, tak semua umat Islam percaya pada nyadran yang berbentuk budaya datang ke kuburan, tabur bunga, dan mendoakan arwah leluhur. Maka harus ada tingkatan laku nyadran dengan peran da’i, materi, media dan metode dakwah yang relevan.
Kelima, masyarakat lewat da’i, kiai, modin, harus diajak dialog, bukan monolog budaya setiap kali ada nyadran. Jika perlu, saat nyadran ada forum tersendiri yang mendiskusikan pengertian, hikmah, sampai manfaat nyadran bagi kehidupan sosial, alam, dan aspek ibadah pada Tuhan.
Berbagai alternatif model tasawuf sosial lewat nydaran di atas jika terlaksana menjadi bagian dari sumbangsih pengembangan ilmu tasawuf berbasis kaearifan lokal. Realitas masyarakat Nusantara yang majemuk, plural, dinamis, tak mungkin hanya diberi perlakukan monoton, monolog, dan searah.
Perlu dialog, kajian dengan merefleksikan tradisi itu dan mengajak warga memetakan bahwa apa yang ia lakukan sangat ilmiah, rasional, dan menjadi bagian dari implementasi laku tasawuf. Sebab, nyadran bisa menjadi alat untuk mencapai kemesraan spiritual, sosial, dan budaya.
Dalam nyadran, ada beberapa landasan menguatkan laku tasawuf dan spirit religiositas. Selain tradisi berbagi, gotong-royong, peduli sosial, nyadran menjadi wujud syukur kepada Tuhan lewat alam yang diberikannya. Nyadran menjadi ekspresi rasa gembira, bungah, dan syukur atas kehadiran Ramadan diwujudkan dengan tasyakuran nyadran. Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa bergembira dengan kehadiran Ramadan, Allah mengharamkan jasadnya disentuh api neraka”. Tak ada orang nyadran susah, justru mereka bergembira lewat sedekah makanan pada saudara bahkan pada alam.
Sudah saatnya nyadran dilestarikan sebagai salah satu kearifan lokal yang itu menjadi bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan berbasis budaya lokal dan laku tasawuf. Dalam berbudaya, beragama, dan bersosial, nyadran memang bukan segalanya. Namun, segalanya bisa berawal dari sana!
Ditulis Oleh: Hamidulloh Ibda
Daftar Pustaka
Anam, Choerul. 2017. “Tradisi Sambatan dan Nyadran di Dusun Suruhan”. Jurnal Sabda, Volume 12, No. 1, Juni 2017.
Asmaraman. 1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Haryanto, Joko Tri. 2014. “Perkembangan Dakwah Sufistik Persepektif Tasawuf Kontemporer”. Jurnal Addin, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014.
Ibda, Hamidulloh. 2018. “Nyadran Jelang Ramadan, Bukan Kemusyrikan”. Artikel, diakses dari Alif.id pada 28 Mei 2018.
Maksum, Ali. 2002. Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep Tradisionalisme Sayyid Husein Nasr. Surabaya: Pustaka Pelajar.
Syukur, M. Amin. 2004. Tasawuf Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tuti, Siti Noer Tyas. 2015. “Tradisi Nyadran sebagai Komunikai Ritual (Studi Kasus di Desa Sonoageng, Kabupaten Nganjuk)”. Jurnal Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya.
Qomar, Mujamil. “Ragam Pengembangan Pemikiran Tasawuf di Indonesia”. Jurnal Episteme, Vol. 9, No. 2, Desember 2014.