Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal sehingga perlu dilestarikan. Budaya lokal dapat berupa tradisi, kesenian (tari, rupa, lukis, dan sebagainya), organisasi sosial, pertanian, agama, bahasa, ekonomi, sosial budaya, teknologi, ilmu pengetahuan serta kesehatan.
Demikian halnya kota Medan yang disebut sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia yang berasal dari berbagai etnis, baik etnis asli maupun etnis pendatang. Kota Medan merupakan kota dengan mayoritas penduduk bersuku Jawa, Batak, Tionghoa, India, dan Minangkabau, meskipun pada dasarnya etnis aslinya adalah Melayu. Menurut Pelly (1983:2), penduduk asli Melayu di kota Medan justru mendapai persentase sebesar 8,57% dari jumlah keseluruhan penduduk kota Medan yang berjumlah 1,4 juta jiwa. Maka, selebihnya diisi dengan suku bangsa pendatang. Ragam etnis tersebut menimbulkan nilai-nilai budaya yang berbeda. Perbedaan tersebut justru dapat dijadikan sebagai potensi untuk dikembangkan dan dijadikan alat untuk meningkatkan kualitas masyarakat menghadapi persaingan global yang semakin ketat.
Kondisi masyarakat di kota Medan juga bermacam-macam bukan hanya dari suku yang mendiami, namun juga dari agama yang dianut serta bahasa keseharian yang digunakan. Mayoritas penduduknya menganut Agama Islam dengan persentase sebanyak 59,68%, kemudian Kristen Protestan 21,16%, Buddha 9,90%, Katolik 7,10%, Hindu 2,15%, dan Konghucu 0,01%. Data tersebut merupakan hasil sensus kota Medan di tahun 2015.
Dengan kondisi di atas, pemuda punya kontribusi penting dalam melestarikan aspek-aspek lokal di kota Medan. Sebagai contoh dengan menggiatkan budaya literasi. Dalam arti sempit, literasi dapat dimengerti sebagai keberaksaraan. Walau demikian, dalam konteks yang lebih luas bukan hanya aktivitas membaca dan menulis, tapi juga melek pada berbagai bidang seperti teknologi, informasi, komunikasi, budaya, agama, politik, dan sebagainya. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal, maka diharapkan bukan hanya dapat meningkatkan minat baca, juga meningkatkan pengetahuan terhadap nilai-nilai budaya dan sejarah dari adat istiadat setempat sehingga ada keinginan untuk belajar dan melestarikannya.
Berbagai gerakan literasi telah diupayakan di beberapa wilayah di Indonesia. Bahkan telah menghadirkan aktivis dan pakar ahli yang memfokuskan kajian terhadap persoalan literasi. Secara umum, gerakan literasi merupakan suatu upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mencapai salah satu dari sembilan agenda prioritas (Nawacita) yaitu melakukan revolusi karakter bangsa atau biasa dikenal dengan revolusi mental.
Namun, sangat disesalkan jika dewasa ini justru anak-anak remaja khususnya para pelajar diterpa oleh arus globalisasi dimana mereka diasyikkan dengan bacaan-bacaan dari budaya negara lain, seperti manga anime dari Jepang. Padahal cerita rakyat dengan latar belakang sejarah sebuah daerah atau sebuah tempat (sasakala), kisah kepahlawanan di daerah, atau kisah pewayangan, memiliki nilai moral didalamnya. Hal-hal positif dikemas bukan hanya untuk menambah wawasan pengetahuan, pun membentuk karakter si pembaca sendiri.
Saat ini, Indonesia menduduki peringkat pembaca manga atau komik Jepang terbanyak kedua di dunia setelah Finlandia dengan rata-rata seseorang membaca 3,11 buku komik atau sekitar 3 buku per orang. Di Finlandia, satu orang rata-rata membaca 3,59 atau hampir 4 buku manga. Hal itu dikarenakan Finlandia menjadikan komik sebagai alat pengajaran untuk murid di sekolah dasar. Sedangkan, Jepang sendiri hanya di peringkat ke-16 dengan rata-rata per orang hanya membaca 1,57 buku manga. Jatuhnya peringkat pembaca manga di Jepang karena game dan komputer pribadi, serta aplikasi mobile sudah sangat merakyat di Jepang saat ini. (sumber : tribunnews.com)
Untuk mencetak generasi yang memiliki nilai-nilai berbudi pekerti, tentunya bentuk sosialisasi literasi harus memuat konten kearifan budaya khususnya budaya lokal. Karena yang menjadi salah satu permasalahan dalam penguatan nilai-nilai sosial budaya adalah sumber dan sosialisasi berbasis kearifan lokal yang masih minim. Selain itu, diperlukan sebuah inovasi dalam bidang literasi dan diintegrasikan dengan nilai-nilai muatan lokal. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan berkolaborasi bersama organisasi dan komunitas kepemudaan daerah melalui inovasi berupa buku bacaan kartun atau biasa disebut komik.
Komik
Scout McCloud (dalam Waluyanto, 2005: 51) mengartikan cerita bergambar atau yang selanjutnya lebih populer dengan sebutan komik sebagai gambar-gambar atau lambang-lambang yang memiliki urutan tertentu untuk menyampaikan informasi dan mendapatkan tanggapan estetis dan pembacanya. Tubuh dari sebuah cerita bergambar atau komik terdiri atas beberapa bagian yang tidak mutlak karena disesuaikan pula dengan kreatifitas dan gaya bercerita komikus. Beberapa bagian komik terdiri dari: karakter, frame (ruangan yang membatasi adegan cerita satu dengan lainnya), balon kata (ruang bagi percakapan yang diucapkan para karakter komik), narasi, efek suara, dan latar belakang (penggambaran suasana tempat keberadaan karakter komik).
Berbicara tentang komik, tidak sedikit komikus-komikus Indonesia berbakat memilih mengambil jalur indie atau yang belum beruntung diterbitkan oleh toko buku. Mereka mempunyai karya-karya yang tidak kalah hebat. Mulai dari yang lucu-lucuan sampai yang bersifat kritik sosial. Dari segi teknis tidak kalah dengan komik Jepang, tapi dari segi cerita terkadang justru lebih kuat karena mengusung konten yang “Indonesia banget”.
Di Indonesia, sudah berkembang beberapa karya-karya berupa komik dari para komikus Indonesia. Contohnya saja, komik karya Djair serial Jaka Sembung yang berlatar Nusantara abad ke-17. Selain serial Jaka Sembung yang melesatkan namanya, Djair juga menggubah komik bergenre cerita silat lepas berlatar historis revolusi kemerdekaan seperti Pelet, Pekutukan, Lebak, Djerit Dalam Debu, dan Sangsaka Berlumur Darah. Setidaknya ada dua hal yang patut dicatat dari komik-komiknya, khususnya serial Jaka Sembung. Pertama, semangat nasionalisme. Kedua, penghargaan atas pluralitas. (sumber: www.dw.com)
Selain itu dalam khasanah komik Indonesia, dikenal beberapa nama komikus yang menonjol seperti R.A Kosasih sebagai Bapak Komikus Indonesia, Ganes TH dan Jan Mintaraga. Ketiga komikus tersebut memiliki karakteristik tersendiri dalam torehan gambar maupun bertutur lewat kata-kata. Dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa komik bukan lagi sesuatu yang kerap dianggap hanya sekadar bacaan hiburan saja, melainkan dapat dimanfaatkan sebagai media persuasif hal-hal positif, salah satunya bahasa dan budaya lokal.
Komik dalam Industri Kreatif
Dalam pengembangan produk komik untuk meningkatkan budaya literasi berbasis kearifan lokal tersebut, perlu dilakukan pendekatan melalui sektor industri kreatif. Industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan, serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.
Era kreatif ditandai dengan berkembangnya industri kreatif yang menggunakan ide dan keterampilan individu sebagai modal utama, sehingga industri kreatif tak lagi sepenuhnya mengandalkan modal besar dan mesin produksi. Dalam buku karangan John Howkins “The Creative Economy,” mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki ide akan lebih kuat dibandingkan orang-orang yang bekerja dengan mesin produksi, atau bahkan pemilik mesin itu sendiri.
Dari definisi tersebut, kemudian dibagi ke dalam 14 subsektor industri kreatif diantaranya: periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fashion, media, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, serta riset dan pengembangan.
Melihat dari perkembangan industri kreatif yang sudah dijabarkan di atas dan melihat subsektornya, ternyata hal ini juga terjadi di kota Medan. Semakin tahun semakin banyak para anak muda kota Medan yang tertarik menggeluti sektor industri kreatif sebagai lahan bisnis, mulai dari bisnis kuliner, percetakan, fashion, informasi, dan akhirnya sekarang lebih dominan pada sektor video, film, fotografi, dan desain.
Di kota Medan, subsektor desain dalam industri kreatif bukan lagi hal baru, begitupun dengan media komik. Pasalnya, Medan telah memiliki komik digital yang kualitasnya diakui hingga level nasional. “Digidoy” namanya. Komik strip digital ini mulai eksis sekitar tahun 2014, dirintis oleh Dody Pratama dan M. Arief Siregar. Sebagai salah satu komiknya orang Medan, komik ini berbeda dari yang lain karena menggunakan tutur berbicara masyarakat Medan dan juga mengangkat keunikan kota itu sendiri. Visi misi komik Digidoy untuk memperkenalkan Medan ke seluruh penjuru Indonesia karena isi media di Indonesia masih didominasi dari penggiat seni yang berada di Pulau Jawa.
Selanjutnya, Dody dan Arief menciptakan dua karakter yang dijadikan tokoh utama dalam komiknya. Mereka adalah Doy dan Digi. Doy digambarkan sebagai karakter anak Medan yang lugu dan culun. Digi adalah alien berbentuk telur yang tersesat di Medan, bertemu Doy, dan akhirnya bersahabat. Buah kerja keras tim Digidoy untuk menghadirkan komik yang mengangkat karakter lokal khas Medan akhirnya diganjar “Kosasih Award” sebagai “Komik Strip Digital Terbaik Nasional di Tahun 2016”. (sumber : antaranews.com)
Komik Sebagai Media Komunikasi Berbasis Kearifan Lokal
Adapun alasan komik dapat dijadikan sebagai media komunikasi untuk meningkatkan budaya literasi berbasis kearifan lokal, dikarenakan adanya penggunaan gambar dalam komik sebagai daya tarik visual, tokoh atau karakter, dan alur cerita yang dapat membuat para pembaca lebih mudah memahami pesan yang akan disampaikan dan memungkinkan pesan yang didapat akan tersimpan lebih lama dalam ingatan.
Alur cerita dalam komik juga dapat membentuk dan mengembangkan imajinasi. Dalam komik terdapat latar belakang dan jalan cerita yang kadang menimbulkan pertanyaan dan rasa ingin tahu bagi pembacanya. Misalnya komik yang menceritakan tentang peninggalan sejarah di suatu daerah. Hal tersebut dapat memperkaya pengetahuan dan mendorong para pembaca untuk belajar mencocokkan antara kejadian yang dipaparkan dalam cerita dengan keadaan yang sebenarnya.
Selain melakukan pendekatan dari sektor industri kreatif, langkah selanjutnya melalui diskusi dengan beberapa tokoh-tokoh masyarakat, akademisi dan pakar literasi media, para penggagas komunitas kepemudaan daerah, dan penggiat sosial yang bergerak di bidang sosial budaya. Pada implementasinya nanti, dapat dilihat sejauhmana peran media komunikasi, salah satunya melalui komik, sebagai upaya dalam penerapan budaya literasi di kota Medan.
Untuk mensosialisasikan komik daerah tersebut, perlu dilakukan beberapa tahapan, antara lain :
- Kolaborasi. Tim penulis akan melakukan kerjasama dengan organisasi dan komunitas kepemudaan daerah yang tersebar di kota Medan. Beberapa diantaranya antara lain : komunitas Medan Heritage, Blogger Medan, Hamada Foundation, Medan Mendongeng, Medan Menulis, Kelas Dewantara, Sahabat Indonesia Berbagi (SIGI), dan sebagainya. Dalam sebuah perumpaan, kolaborasi diibaratkan ‘sapu lidi’. Jika hanya satu lidi akan mudah dipatahkan, namun jika diikat dengan banyak lidi niscaya menjadi kuat.
Penggunaan bahasa dalam komik daerah tersebut tetap menggunakan logat Medan yang mempunyai kosakata ajaib yang tidak pernah didengar orang lain yang tinggal di luar Ibukota Sumatera Utara. Bahasa yang digunakan adalah bahasa pergaulan masyarakat Medan, seperti “buka calak” (pertama yang melakukan sesuatu), “mentiko” (melawan), dan “kekeh” (ketawa).
- Platform sosial media dan media online, sebagai wadah sosialisasi melalui beragam platform media sosial seperti, facebook dan instagram yang dapat menjangkau bacaan masyarakat, khususnya anak-anak muda di kota Medan.
- Kumpul komunitas. Penerapan nilai-nilai budaya bisa diterima (khususnya oleh anak muda), maka terlebih dahulu trennya harus dirubah. Sebagian orang masih mengatakan isu budaya adalah kaku. Namun, jika disajikan dengan sesuatu baru dan ‘kekinian’, maka tidak menutup kemungkinan anak-anak muda bisa menerima dan berpikir bahwa budaya di kota Medan tidak kalah menarik dibandingkan kota-kota besar lainnya. Oleh karena itu, dengan mulai menjamurnya komunitas-komunitas yang ada di kota Medan, maka akan sangat memungkinkan jika ide-ide kreatif dapat dikelola oleh warga lokal itu sendiri. Sehingga, nilai-nilai budaya yang ada di kota Medan tetap kokoh dalam pondasinya.
- Pelatihan atau Training of Trainer (ToT). Seiring berjalannya waktu, perkembangan komik akan menjadi bacaan yang tidak lagi diidentikkan sebagai hiburan semata. Hal ini perlu diperluas dengan memberikan pelatihan atau ruang berkarya bagi para pemula yang memiliki minat sama. Maka, dalam perjalannya nanti akan digelar pelatihan-pelatihan secara rutin dan kontinyu. Sehingga tujuan untuk mengoptimalisasikan potensi daerah melalui budaya literasi ‘komik’ dapat tercapai. Rasa memiliki untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya pun tidak terhenti sebatas pada lingkaran satu atau dua komunitas saja, melainkan milik bersama.
- Ruang ekspresi. Ini adalah salah satu bentuk ide kegiatan yang dirancang dalam mendukung pengembangan komik daerah di kota Medan. Dinamai “ruang kreatif” karena dalam kegiatan ini seluruh lapisan masyarakat kota Medan dapat menuangkan ekspresi dalam bentuk apa saja. Layaknya sebuah festival rakyat, disinilah tempatnya. Komik daerah seperti ‘Digidoy’ akan menjadi pemicu bagi para komikus-komikus kota Medan yang ingin menyumbangkan ide cerita. Nantinya, hasil karya mereka akan dikolaborasikan dalam sebuah ‘karya bersama’ para komikus kota Medan. Kegiatan ini akan diadakan dua bulan sekali berlokasi di taman-taman kota yang memiliki nilai sejarah di kota Medan, seperti Taman Beringin, Taman Ahmad Yani, dan Taman Kota di Lapangan Merdeka Medan.
- Prototype. Visualisasi dalam bentuk komik series agar kedepannya komik daerah dapat merambah pasar industri kreatif lebih luas dengan memanfaatkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
DAFTAR REFERENSI
Buku
Pelly, Usman. (1983). Urban Migration and Adaptation in Indonesia : Analysis Case Study of Minangkabau and Mandailing Batak Migrants in Medan North Sumatera. Medan : Universitas Sumatera Utara.
Waluyanto, Dwi. (2005). Komik Sebagai Media Komunikasi Visual Pembelajaran (dalam Nirmana Vol. 7, No. 1, Januari 2005 hlm. 45-55). Surabaya: Universitas Kristen Petra.
Sumber Internet :
http://www.tribunnews.com/lifestyle/2013/11/29/indonesia-peringkat-ke-2-pembaca-manga-terbanyak-di-dunia (diakses pada 09 Juni 2018)
http://www.dw.com/id/belajar-nasionalisme-dari-komik-indonesia/a-19515374 (diakses pada 09 Juni 2018)
https://www.antaranews.com/berita/521691/mengenal-kekhasan-medan-dari-komik-digidoy (diakses pada 09 Juni 2018)