A decision on the scope of the philosophy of science is a precondition for writing about its history. Unfortunately, philosophers and scientists are not in agreement on the nature of the philosophy of science. Even practising philosophers of science often disagree about the proper subject-matter of their discipline. An example of this lack of agreement is the exchange between Stephen Toulmin and Ernest Nagel on whether philosophy of science should be a study of scientific achievement in vivo, or a study of problems of explanation and confirmation as reformulated in the terms of deductive logic.1 To establish a basis for the subsequent historical survey, it will be helpful to sketch four viewpoints on the philosophy of science.
Komunitas komunikasi semakin bertambah setiap tahunnya. Di China, jumlah program komunikasi berkembang dari sekitar 600 di tahun 2006 menjadi sekitar 800 di tahun 2008 dengan jumlah dosen mencapai 10.000 (Fei, 2009). Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada riset khusus tentang jumlah program studi komunikasi, terdapat 334 program studi yang mengandung kata komunikasi dan 326 diantaranya berada di bidang sosial. Secara khusus terdapat 231 program studi ilmu komunikasi, lima program studi penyiaran, 36 program studi hubungan masyarakat di level diploma (D3) dan tujuh program studi jurnalistik setingkat D3 dan D4. Sedangkan jumlah dosen yang terdaftar (memiliki nomor induk dosen nasional lebih kurang 600 orang (http://evaluasi.dikti.go.id/epsbed, 2011). Tentunya masih banyak dosen yang belum terdaftar dan juga adanya perguruan tinggi yang belum semuanya mendokumentasikan dosennya dengan baik. Walaupun demikian, data sementara ini memperlihatkan adanya sejumlah orang-orang yang bergerak dalam bidang komunikasi.
Sebagian orang percaya bahwa segala sesuatu harus dipandang secara ilmiah. Hal ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh proyek Pencerahan yang banyak memberikan perhatian kepada rasio atau akal. Dalam batas tertentu muncul apa yang kita kenali sekarang sebagai rasionalisme yang secara spontan tidak jarang diposisikan sebagai tolok ukur bagi, tidak hanya kegiatan ilmiah, kehidupan sehari-hari. Padahal, rasionalisme dalam wacana filsafat ilmu hanya menjadi salah satu paham yang tidak lepas dari kecacatan. Tidak jarang kecacatan yang sedemikian rupa seringkali diterima sebagian orang dengan ketidaktahuan yang kompleks dan diyakini layaknya agama atau kepercayaan tersendiri.