• UGM
  • IT Center
Universitas Gadjah Mada KAJIAN FILSAFAT ILMU
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Problematika Ilmu
    • Ilmu dalam Local Wisdom
    • Ilmu dan Metodologi
    • Ilmu, Masyarakat dan Nilai
  • Dialog Antar Ilmu
  • Multimedia Ilmu
  • Beranda
  • Ilmu
Arsip:

Ilmu

Mengenal Thomas Samuel Kuhn

IlmuMultimedia Ilmu Monday, 29 June 2020

Mengenal Thomas Samuel Kuhn pada Bagian I ini akan membahas tentang hidup Kuhn, latar belakang Pendidikan, dan Karier Thomas Kuhn selama hidupnya.

 

EPISTEMOLOGI DIRI DALAM KITAB JNANASIDDHANTA (SEBUAH PROSES PENCERAHAN DALAM AJARAN SIWA-BUDDHA BALI)

Epistemologi IlmuIlmu dan Metodologi Wednesday, 10 October 2018

Oleh: Galuh Nur Fattah, S.Fil

Bali adalah salah satu pulau dengan daya tarik pariwisata dan merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Pada umumnya mayoritas masyarakat Bali memeluk agama Hindu, secara singkat dapat dijelaskan bahwa agama Hindu atau Hinduisme yang berkembang di Bali hampir sama dengan Hinduisme yang pernah mengakar kuat di Pulau Jawa dan merupakan salah satu sekte agama Hindu yang memiliki kedudukan penting yang muncul di India sebelum tahun 500 M[1]. Dalam penelusuran yang dilakukan oleh Haryati Soebadio[2], menemukan bahwa sekte yang mempengaruhi perkembangan agama Hindu di Bali dan Jawa dikenal dengan nama Saivasiddhanta yang sangat merepresentasikan ajaran Siva (Siwa). Sampai saat ini belum ditemukan telaah-telaah komparatif yang memperlihatkan secara langsung hubungan ajaran Saivasiddhanta yang ada di India Selatan dengan yang ada di Bali. Jadi dapat ditarik sebuah kesimpulan sementara bahwa ada sebuah perbedaan pokok di antara keduanya.

Ajaran Saivasiddhanta yang berkembang di Bali dibukukan dalam sebuah kitab yang ditulis dalam enam puluh empat lembar daun lontar dengan huruf-huruf Bali dan diberi nama Jnanasiddhanta, nama ini diambil dari bagian akhir naskah yang berbunyi (1) Iti Jnanasiddhanta-sastram prathamah patalah, (2) Iti Bhasmamantra-sakala vidhi-sastram dvitiyah patalah, (3) Iti Jnanasamksepa-nama sastram trtiyah patalah[3]. Naskah ini meruapkansalah satu naskah penting yang menjadi sumber pengetahunan dalam memahami diri dan realitas. Isi dalam naskah ini menunjukkan ada sebuah toleransi yang tinggi antara ajaran Siwa (Siva) dan Buddha yang memang telah mengakar kuat dalam perkembangan peradaban di Nusantara khususnya peradaban yang ada di Jawa dan Bali. Hal tersebut dibuktikan melalui kutipan Kakawin Sutasoma karya penyair istana Majapahit, Mpu Tantular yang dikutip oleh Haryati Soebadio[4] dalam pembukaan transliterasinya terhadap naskah atau kitab Jnanasiddhanta:

Nahan hetu Bhatara Buddha kahidep putraprameyeng jagat/

Sang Hyang Advaya rama tattva nira san panditanhayvani//

Prajnaparamitebu tan sah i seden ning yoga sanusmrti/

Tan ragodaya bhinna rakva kalavan Hyang Durmukhan at-maja//4//

Pada masa kejayaannya, Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu terbesar yang pernah hampir menguasai seluruh wilayah di Nusantara, namun dalam kutipan Kakawin Sutasoma di atas menjelaskan bahwa telah terjadi sebuah toleransi dan juga komparasi antara ajaran Siwa dan Buddha pada masa itu. Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa Advaya dianggap sebagai ayah, Buddha sebagai putra, sedangkan Prajnaparamita sebagai ibu.

Haryati Soebadio[1] mengutip sebuah pernyataan dari Professor Gonda yang menjelaskan bahwa gejala pertautan antara ajaran Siwa dan Buddha di Indonesia khususnya di pulau Jawa dan Bali, bukanlah sebuah fonomena sinkretisme. Dia menjelaskan bahwa gejala tersebut merupakan sebuah bentuk “koalisi” yang terjadi antara keduanya. Maksudnya, ada sebuah titik temu antara keduanya yang dijadikan sebagai dasar integrasi antara umat Hindu Siwa dan Buddha yang hidup berdampingan saat itu. Jnanasiddhanta mempergunakan istilah-istilah yang menggambarkan pembauran antara konsep-konsep dari agama Hindu dan Buddha, selain itu di dalamnya juga menampilkan bagian-bagian yang sama dengan teks-teks Buddha. Dalam teks yang lain seperti dalam Kunjarakarna ditemukan bahwa kelima Tathagata dari agama Buddha disamakan dengan kelima manifestasi Siwa, hal serupa terjadi juga dalam teks Arjunavijaya. Kalimat yang terdapat dalam Kunjarakarna yang sering dikutip adalah “Kami Siva, kami Buddha”, prinsip tertinggi tersebut menyamakan diri baik dengan Siwa maupun dengan Buddha. Ini sejalan dengan kenyataan bahwa raja Kertanegara dari tanah Jawa dikebumikan dengan nama SivaBuddha. Raja sebagai prinsip tertinggi bagi negaranya, secara logis disamakan juga dengan prinsip-prinsip tertingggi dari agama-agama yang terdapat dalam negaranya.[2] Hal ini menarik karena pada awal sejarahnya Buddhisme lahir di India sebagai bentuk kritik terhadap kesan personal yang digunakan untuk menggambarkan pancaran-pancaran Tuhan yang pribadi dan diberlakukannya sistem kasta dalam Hinduisme, namun yang terjadi di Nusantara, antara ajaran Siwa dan Buddha justru tumbuh dan hidup bersama secara berdampingan.

Pertautan antara ajaran Siwa dan Buddha tersebut bukan tanpa sebab, faktanya ada beberapa titik temu yang menjadi alasan kuat mengapa keduanya rekat. Dalam hal ini adalah ajaran dalam memandang dan memahami realitas, baik realitas diri atau pun realitas di luar diri. Perbincangan mengenai realitas sebagai sesuatu yang ada memang merupakan bagian dari kajian ontologi, namun sebuah status ontologis tertentu terhadap suatu hal tidak mungkin dapat berdiri dengan kokoh tanpa ada kerangka epistemologi yang mendasarinya sebagai sebuah proses untuk mengetahui dan membentuk sebuah klaim ontologi. Secara umum epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat umum yang berbicara mengenai pengetahuan, di sisi yang lain juga dipahami sebagai teori tentang pengetahuan. Pertanyaan sentral dalam epistemologi meliputi; asal usul pengetahuan, letak pengalaman dalam membangkitkan pengetahuan, letak rasio dalam membangkitakan pengetahuan, dan kemustahilan akan kekeliruan.[1] Epistemologi merupakan dasar bagi ilmu pengetahuan untuk muncul dan berkembang, tidak ada satu pun ilmu pengetahuan yang ada saat ini, baik yang sudah mapan atau yang sedang bergerak dalam sebuah proses yang muncul tiba-tiba tanpa sebuah pra-anggapan epistemologis tertentu pada awal kemunculannya. Dalam keterkaitannya dengan kitab atau naskah Jnanasiddhanta yang memeperlihatkan kesinambungan antara ajaran Siwa dan Buddha terdapat sebuah konsep pengetahuan diri yang menjadi dasar bagi diri untuk mengetahui realitas. Konsep tersebut tersebar secara acak dalam setiap bagian yang dijelaskan dalam Jnanasiddhanta yang merupakan satu dari beberapa teks suci yang menjadi kunci ajaran Siwa-Buddha. Oleh sebab itu perlu ada suatu upaya untuk mengurai makna serta membuat kategorisasi-kategorisasi sehingga upaya sistematis terhadap teks tersebut dapat diusahakan, karena pengetahuan yang ada di dalamnya dapat dikatakan sebagai awal bagi sebuah ilmu pengetahuan untuk muncul dengan syarat-syarat metodologis tertentu serta diuji secara ilmiah dengan kurun waktu yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Dalam teks ini pendekatan yang hendak digunakan untuk mengkategorisasikannya adalah dengan menggunakan pendekatan epistemologi sistematis yang sudah ada secara umum.

[embeddoc url=”http://web38.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/913/2018/10/EPISTEMOLOGI-DIRI-DALAM-KITAB-JNANASIDDHANTA.pdf” download=”logged”]

Dimensi Aksiologi Ilmu Arkeologi

Aksiologi IlmuIlmu dan NilaiMultimedia Ilmu Thursday, 4 October 2018

Ilmu Arkeologi dalam hal ini tidak bisa lepas dari pertimbangan pertimbangan nilai, nilai-nilai yang berada di luar kajian Aksiologi selalu menghantui Ilmu Arkeologi dalam penerapannya, baik itu nilai- nilai keagamaan, dan nilai-nilai yang beralku di komunitas sosial.
Adanya tuntutan terhadap Ilmu Arkeologi yang harus menghormati nilai-nilai sosialitas, menggerakan ilmuwan untuk menyusun dasar dasar etis dalam penerapan ilmu Arkeologi

Dimensi Sosiologis Ilmu Arkeologi

Epistemologi IlmuMultimedia IlmuUncategorized Tuesday, 25 September 2018

Ilmu terkadang tidak lepas dari dinamika masyarakat, ilmu selalu terkait terhadap susunan sosial suatu masyarakat sehingga mengakibatkan ilmuwan tidak dapat berdiri sendiri atau lepas dari kontribusi masyarakat, untuk tujuan pengembangan ilmu.

Kehadiran masyarakat dalam pengembangan ilmu membawa ilmuwan pada pertanyaan besar apakah ilmuwan harus tunduk pada kepentingan masyarakat atau ilmuwan harus profesional dan tidak harus mementingkan keadaaan masyarakat, sejauh penelitian tersebut berhasil?

Penguatan Tasawuf Sosial Lewat Nyadran

Epistemologi IlmuIlmu dan Masyarakat IlmiahIlmu dan Realitas Sunday, 19 August 2018

Sebagai salah satu local wisdom (kearifan lokal), tradisi nyadran memiliki nilai-nilai tasawuf sosial yang erat kaitannya antara manusia (hablum minannas), alam (hablum minalalam), dan Tuhan (hablum minallah). Selama ini banyak tradisi lokal memiliki nilai-nilai tasawuf tinggi. Selain nyadran, di Nusantara ini ada tradisi sedekah bumi (kabumi), sedekah laut (kalaut), megengan, maleman, krayahan, bacakan, gas deso, apeman, oncoran, dan lainnya.

Meski nilai-nilai dalam nyadran tinggi, namun masih sedikit yang meneliti dan mengembangkannya sebagai ilmu tasawuf. Saat ini, masyarakat justru terjebak pada faham takfiri (mengafirkan), tabdi’ (mebidahkan), dan tasyri’ (mensyirikkan). Mereka belum meneliti, mengkaji secara ontologi, epistemologi, dan aksiologi, namun buru-buru mengklaim dan mengasumsikan secara subjektif.

Perkembangan teknologi super cepat dan kita sekarang berada di era Revolusi Industri 4.0 memang membawa dampak disruption (ketercerabutan) dari berbagai aspek. Maka wajar jika Maksum (2002: 4) berpendapat, modernisme justru membawa dampak terhadap terjadinya kerancuan dan penyimpangan nilai-nilai kemanusiaan (dehumanisasi).

Manusia modern kian dihinggapi oleh rasa cemas dan kehilangan visi keilahian serta kehilangan dimensi transcendental, sehingga mudah dihinggapi kegersangan dan krisis spiritual. Sebagai akibatnya, manusia modern sering dihinggapi penyakit stress, depresi dan alienasi. Mereka teralienasi dari dirinya sendiri, dari lingkungan sosialnya, dan yang terpenting lagi dari Tuhannya.

Solusinya alternatisnya, berupa pemertahanan kearifan lokal dengan penguatan tasawuf. Sebagai disiplin ilmu tarekat, tasawuf menjadi urgen dikembangkan di era milenial ini. Mengapa? Karena relasi antara manusia, alam, dan Tuhan, sangat kental dalam tradisi lokal, salah satunya nyadran. Tak hanya untuk kepentingan manusia dengan manusia, namun orang Jawa sangat identik dengan budaya religiositas yang dibalut dengan kearifan lokal.

Dalam konteks sosial, nyadran menjadi rangkaian budaya mulai dari pembersihan makam leluhur, wali, pahlawan, tabur bunga dan mendoakan arwah pendahulu yang berjasa. Di sejumlah tempat, nyadran berkembang menjadi “paket wisata” budaya-religi karena unik dan hanya ada di Nusantara ini.

Kearifan lokal di Nusantara memang unik. Hampir tiap tradisinya berkaitan dengan Tuhan, alam, dan manusia. Contohkan saja nyadran, selain laku budaya, tradisi ini sarat akan laku tasawuf. Selain makan-makan, sedekah, mereka melakukan doa-doa dan membaca ayat Alquran sebagai wujud penyerahan nasib pada Tuhan. Tradisi ini harus dijaga sebagai khazanah budaya, identitas bangsa yang menjadi wujud laku tasawuf dan wajib dikuatkan.

Konsep Nyadran

Idiom nyadran sudah menasional meski tidak semua orang tahu. Dari aspek etimologis, nyadran diambil dari berbagai bahasa. Pertama, bahasa Indonesia, dalam KBBI (2009), sadran-menyadran diartikan mengunjungi makam pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur (ayah, ibu, dan lainnya) dengan membawa bunga atau sesajian.

Kedua, bahasa Sanskerta, sraddha artinya “keyakinan”. Ketiga, nyadran dalam Bahasa Jawa berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban lantaran dilakukan sebelum Ramadan.

Keempat, nyadran diambil dari Bahasa Arab, shodrun yang berarti dada. Khamim (2018) berpendapat menjelang Ramadan, masyarakat harus ndodo (introspeksi diri), menyucikan diri dari aspek lahir dan batin (Ibda, 2018) .

Kelima, nyadran merupakan salah satu bentuk upacara tradisional di pulau Jawa, peninggalan Hindu yang dipadukan ajaran Islam. Dalam nyadran terdapat ritual sebagai perwujudan rasa syukur kepada Sang Pencipta (Noer, 2015:1).

Keenam, nyadran merupakan tradisi masyarakat Jawa yang awalnya dari masyarakat dengan kepercayaan Hindu sejak abad 13 M. Masuknya ajaran Islam di Jawa oleh Walisongo, mengakibatkan nyadran mengalami islamisasi. Nyadran diadakan di bulan Ruwah sebelum bulan puasa Ramadan, tepatnya pada hari Kamis Legi dan Jumat Kliwon. Nyadran salah satu bentuk komunikasi ritual yang dipercaya mampu menghubungkan kepada para leluhur dan Sang Pencipta (Anam, 2017: 83).

Dari pendapat KBBI (2009), Khamim (2018) (Ibda, 2018), Noer (2015) dan Anam 2017, dapat disimpulkan nyadran merupakan tradisi Jawa yang diadopsi dari ajaran Hindu sejak abad 13 M. Kemudian, diubah Walisongo menjadi islami. Selain berhubungan dengan manusia dan alam, nyadran sarat akan laku tasawuf karena berhubungan dengan leluhur dan Sang Pencipta.

Di berbagai daerah, nyadran memiliki idiom dan praktik beda. Di Semarang, Demak, Kendal, dan lainnya, para warga datang ke kuburan mendoakan leluhur/kedua orang tua. Ada yang membawa makanan dan ada yang tidak. Di Grobogan, Pati, dan sekitarnya, selain berkunjung ke kuburan, nyadran disebut megengan dipraktikkan lewat tasyakuran bersama di musala/masjid sebelum Ramadan.

Di Blora, nyadran dipraktikkan dengan besik kubur (membersihkan kuburan) dari kotoran dan biasanya dibarengkan dengan sedekah bumi atau gas deso. Di Temanggung, Magelang, Salatiga, Solo, Jogjakarta, nyadran dilakukan di tiap dusun atau kampung dengan berziarah ke kuburan. Mereka melakukan tahlil, doa bersama, meminta ampunan dan keseimbangan dengan alam.

Nilai-nilai Tasawuf Nyadran

Nyadran memiliki nilai adhiluhung karena wujud relasi antara manusia, leluhur, alam, dan Tuhan sebagai wujud laku tasawuf. Di era Revolusi Industri 4.0 ini, pola dan praktik nyadran harus dikuatkan untuk pengembangan ilmu tasawuf agar bisa diterima semua masyarakat yang majemuk.

Azra (1994: 35) menjelaskan peran tasawuf begitu besar bagi kehidupan. Para sufi pengembara terutama yang melakukan penyiaran di Nusantara berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara sejak abad ke-13. Faktor utama keberhasilan konversi itu berupa kemampuan mereka menyajikan Islam dalam kemasan atraktif, terutama menekankan kesesuaian dengan Islam daripa melakukan perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal.

Dalam pengembangan tasawuf, Qomar (2014: 254-255) menemukan delapan macam tawaran konsep tasawuf, yaitu tasawuf sosial, positif, perkotaan, falsafi, irfani, kontekstual, Jawa dan tasawuf Muhammadiyah. Tasawuf merupakan kehidupan dengan selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah melalui peningkatan dan penyempurnaan ibadah wajib maupun ibadah sunnah.

Dalam Islam ada dua jenis ibadah, mulai dari mahzah/wajib berupa rukun Islam itu sendiri, dan ibadah muamalah di luar ibadah mahzah. Nyadran di sini, merupakan bagian dari ibadah mualamah di luar ibadah wajib/mahzah yaitu syahadat, salat, zakat, puasa dan haji. Dalam tradisi ini, banyak sekali nilai-nilai terkandung. Tak hanya nilai sosial, namun spiritual karena erat kaitannya dengan leluhur dan Tuhan.

Penelitian Anam (2017: 82) menemukan beberapa nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi nyadran. Pertama, nilai gotong royong. Kedua, nilai persatuan dan kesatuan. Ketiga, nilai musyawarah. Keempat, nilai pengendalian sosial. Kelima, nilai kearifan lokal yang ditunjukkan pada saat memberikan makanan yang dibawa untuk diberikan kepada warga yang datang nyadran.

Melihat praktiknya, nyadran tak hanya berdimensi sosial dengan manusia, dan alam, namun juga dengan Tuhan. Dinamika ini sangat tepat sebagai metode dakwah dan pengembangan tasawuf sebagai salah satu wahana menciptakan kemesraan kehidupan.  Melalui pendekatan ini, para Walisongo dulu mampu mengubah laku tasawuf yang berbau mistis, disulap sangat islami dan rasional. Kendurinya masih, namun doa-doa diganti dengan kalimat tayibah, tahlil, tahmid, dan lainnya.

Penjelasan Azra (1994), Qomar (2014), dan Anam (2017) di atas, dapat disimpulkan sejarah perkembangan ilmu tasawuf tak bisa lepas dari penggabungan nilai-nilai Islam yang atraktif dengan budaya lokal. Nilai-nilai Islam dalam tasawuf sosial itu kemudian ditransformasikan melalui nyadran yang di dalamnya terkandung nilai gotong-royong, persatuan, kesatuan, musyawarah, pengendalian sosial, dan kearifan lokal.

Nyadran membangun masyarakat menjadi seimbang dan sesuai ruh Islam. Lewat nyadran, masyarakat mampu menciptakan “kemesraan rohani” antara manusia, alam dan Tuhan. Nyadran tak hanya urusan religi, namun erat kaitannya dengan budaya, nasionalisme, bahkan pariwisata. Pemahaman nyadran harus komprehensif dan berbasis masa depan. Lewat nyadran bangsa ini menjadi besar karena memegang teguh identitas, kearifan lokal, dan nasionalisme.

Di tengah gempuran faham konservatif dan radikal saat ini, masyarakat harus melestarikan nyadran. Tujuannya membentengi berkembangnya ideologi terorisme dan transnasional yang mengusik NKRI. Adanya faham takfiri, tabdi’, tasyri’ merupakan bentuk pemahaman Islam konservatif, kaku, dan doktriner tanpa memandang realitas sosial dan kearifan lokal. Puncaknya, faham ini berbentuk tindakan keji berupa merusak sampai ngebom, padahal teror bukan jihad dan ajaran Islam.

Agama tak sekadar urusan doktrin ideologis. Agama harus dipahami sebagai realitas sosial dan buday alokal. Maka perbuatan sehari-hari tak boleh kaku karena harus sesuai konteks, lingkungan, budaya dan kebutuhan zaman. Orang berfaham kaku dan konservatif cenderung inferior dengan bangsanya sendiri karena tak memiliki spirit nasionalisme. Mereka berfaham “yang lain salah kecuali aku”. Seolah-seolah surga sudah “dikapling” dan yang tak sefaham tempatnya di neraka. Jika demikian, wajar jika ada aksi terorisme.

Cara dakwah mereka pun “memukul” bukan merangkul. Doktrin jihad harusnya memajukan justru menjadi “jahat”. Dari sini, tradisi nyadran menjadi bagian menggerakkan dan menguatkan kearifan lokal lewat laku tasawuf sosial. Jika masyarakat semuanya berbudaya dan bertasawuf, tak mungkin ada pengeboman karena mereka mesra dengan manusia, alam, dan Tuhan.

Penguatan Tasawuf Sosial

Tasawuf sosial yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan, ketuhanan, dan peduli lingkungan lewat nyadran harus dikuatkan melalui pengembangan ilmu tasawuf. Syukur (2004:vi-ix) menjelaskan ajaran tasawuf dapat diaplikasikan di masyarakat dengan syarat bisa membumi dan aplikatif.

Tasawuf sosial harus dipegang masyarakat, terutama para pelaku pembangunan dengan tujuan kesan negatif bagi masyarakat muslim Indonesia dapat dihilangkan. Apalagi, belakangan stigam terorisme bersumber dari Islam sangat lekat. Maka nyadran sebagai bentuk membentengi faham radikal harus dikuatkan melalui pendekatan tasawuf sosial.

Ketika Islam masuk di lingkungan masyarakat Jawa, aspek Islam yang dekat dengan tradisi Kejawen adalah ajaran mistiknya, yaitu tasawuf. Hal ini terlihat jelas dari pandangan hidup orang Jawa yang memiliki kesamaan konsep dengan tasawuf. Misalnya; urip iku sademo nglampahi, narimo ing pandum, sumarah, sabar, manunggaling kawulo gusti, sangkan paraning dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana dan sebagainya (Haryanto, 2014: 280).

Pola seperti ini menghasilkan ilmu kehidupan yang tanpa disadari mendarahdaging dalam kehidupan masyarakat Jawa yang beragama Islam. Maka penguatan tasawuf sosial ini harus dikembangkan dengan pendekatan kearifan lokal yang erat kaitannya dengan tradisi, budaya, dan keinginan masyarakat. Lewat gerakan ini, tasawuf sosial bisa eksis, karena masyarakat dibekali dengan ilmu pengetahuan yang sangat dekat dengan tradisinya.

Asmaraman (1994: 383) menjelaskan eksistensi tasawuf dapat dilihat dengan pendekatan sistem yang di dalamnya tersusun 5 komponen. Meliputi input, konversi, output, lingkungan dan feedback, dan terdiri atas unsur-unsur pokok berupa da’i, mad’u, materi, media dan metode dakwah.

Berdasarkan uraian Syukur (2004), Haryanto (2014), Asmaraman (1994) di atas, dapat disimpulkan penguatan tasawuf sosial dapat dilakukan melalui pengembangan ilmu tasawuf lewat tradisi nyadran. Ajaran tasawuf yang dapat diaplikasikan di masyarakat harus dekat dengan tradisi lokal, populer, membumi dan aplikatif.

Pendekatannya, bisa melalui lima komponen. Pertama, input berupa penjelasan ulang bahwa nyadran  mengandung nilai-nilai tasawuf yang tinggi dalam aspek sosial, peduli lingkungan, bahkan transenden. Nyadran bisa dijelaskan pada masyarakat lewat realitas sosial dan budaya mereka, bukan indoktrinasi dan berbasis ideologis.

Kedua, konversi nyadran bisa dikembangkan pada aspek wisata berbasis budaya dan religi. Ketiga, output dari tradisi ini bisa dilakukan melalui adanya pesta budaya yang menghasilkan peduli sosial, cinta Tuhan dan cinta lingkungan.

Keempat, lingkungan yang diajak menguatkan tradisi nyadran bisa dipetakan, antara yang mendukung dan kontra. Sebab, tak semua umat Islam percaya pada nyadran yang berbentuk budaya datang ke kuburan, tabur bunga, dan mendoakan arwah leluhur. Maka harus ada tingkatan laku nyadran dengan peran da’i, materi, media dan metode dakwah yang relevan.

Kelima, masyarakat lewat da’i, kiai, modin, harus diajak dialog, bukan monolog budaya setiap kali ada nyadran. Jika perlu, saat nyadran ada forum tersendiri yang mendiskusikan pengertian, hikmah, sampai manfaat nyadran bagi kehidupan sosial, alam, dan aspek ibadah pada Tuhan.

Berbagai alternatif model tasawuf sosial lewat nydaran di atas jika terlaksana menjadi bagian dari sumbangsih pengembangan ilmu tasawuf berbasis kaearifan lokal. Realitas masyarakat Nusantara yang majemuk, plural, dinamis, tak mungkin hanya diberi perlakukan monoton, monolog, dan searah.

Perlu dialog, kajian dengan merefleksikan tradisi itu dan mengajak warga memetakan bahwa apa yang ia lakukan sangat ilmiah, rasional, dan menjadi bagian dari implementasi laku tasawuf. Sebab, nyadran bisa menjadi alat untuk mencapai kemesraan spiritual, sosial, dan budaya.

Dalam nyadran, ada beberapa landasan menguatkan laku tasawuf dan spirit religiositas. Selain tradisi berbagi, gotong-royong, peduli sosial, nyadran menjadi wujud syukur kepada Tuhan lewat alam yang diberikannya. Nyadran menjadi ekspresi  rasa gembira, bungah, dan syukur atas kehadiran Ramadan diwujudkan dengan tasyakuran nyadran. Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa bergembira dengan kehadiran Ramadan, Allah mengharamkan jasadnya disentuh api neraka”. Tak ada orang nyadran susah, justru mereka bergembira lewat sedekah makanan pada saudara bahkan pada alam.

Sudah saatnya nyadran dilestarikan sebagai salah satu kearifan lokal yang itu menjadi bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan berbasis budaya lokal dan laku tasawuf. Dalam berbudaya, beragama, dan bersosial, nyadran memang bukan segalanya. Namun, segalanya bisa berawal dari sana!

Ditulis Oleh: Hamidulloh Ibda

Daftar Pustaka

Anam, Choerul. 2017. “Tradisi Sambatan dan Nyadran di Dusun Suruhan”. Jurnal Sabda, Volume 12, No. 1, Juni 2017.

Asmaraman. 1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.

Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

Haryanto, Joko Tri. 2014. “Perkembangan Dakwah Sufistik Persepektif Tasawuf Kontemporer”. Jurnal Addin, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014.

Ibda, Hamidulloh. 2018. “Nyadran Jelang Ramadan, Bukan Kemusyrikan”. Artikel, diakses dari Alif.id pada 28 Mei 2018.

Maksum, Ali. 2002. Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep Tradisionalisme Sayyid Husein Nasr. Surabaya: Pustaka Pelajar.

Syukur, M. Amin. 2004. Tasawuf Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tuti, Siti Noer Tyas. 2015. “Tradisi Nyadran sebagai Komunikai Ritual (Studi Kasus di Desa Sonoageng, Kabupaten Nganjuk)”. Jurnal Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya.

Qomar, Mujamil. “Ragam Pengembangan Pemikiran Tasawuf di Indonesia”. Jurnal Episteme, Vol. 9, No. 2, Desember 2014.

Aksiologi Ilmu Sebagai Sarana Pengembangan Iptek Berwajah Kemanusiaan

Aksiologi Ilmu Friday, 1 June 2018

Ketika ilmu dan teknologi (iptek) hadir di ranah akademis dan di tengah kehidupan masyarakat tak terbayangkan berbagai dampak – positif maupun negatif – akan muncul seperti yang kita alami sekarang ini. Betapa waktu kita begitu tersita oleh iptek yang semula dimaksudkan untuk memangkas waktu dengan efisiensi, betapa tenaga dan pikiran kita terkuras oleh iptek yang semula dimaksudkan untuk membantu meringankan beban kita, betapa deras arus informasi menghanyutkan kita yang semula dimaksudkan untuk menambah pengetahuan kita tentang sesuatu, betapa tereksploitasinya alam oleh kedahsyatan iptek yang semula dimaksudkan untuk mempermudah pekerjaan kita beriring dengan alam, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu terjadi lantaran manusia berhenti sebagai majikan atas iptek dan beralih menjadi asisten (istilah keren untuk pembantu atau pelayan), padahal seharusnya iptek mempertimbangkan segala bentuk resiko yang berimbas bagi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Namun realita yang terjadi memperlihatkan kosokbalinya, bahwasanya acapkali kehadiran iptek justeru membawa perubahan yang drastis, sehingga menimbulkan berbagai ekses yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga acapkali merugikan dan menyengsarakan manusia sebagaimana yang ditengara di atas. Aneh tapi nyata, masyarakat awam yang tidak tahu bagaimana proses iptek terbentuk justeru terkena imbas yang paling awal, paling besar, dan paling dirugikan,  bahkan di beberapa kasus, masyarakat awam dijadikan sebagai lahan uji coba pengembangan iptek.

Kalau kita masih ingat tentu sambil menengok serpihan sejarah masa lampau, maka proyek bom atom Amerika lebih banyak menelan korban masyarakat sipil di Jepang yang  tidak terlibat Perang Dunia II. Dampak pengeboman sangat miris bila dilihat dari perspektif kemanusiaan, karena para hibakusha, yakni korban yang terkena ledakan harus mengalami cacat, penderitaan sepanjang hidupnya, bahkan janin yang tidak tahu menahu banyak yang lahir dalam keadaan cacat. Total korban di Hiroshima dan Nagasaki mencapai angka 220 000 jiwa yang tewas terbakar karena radiasi. Demikian pula korban bom kimia di Vietnam, Iran, dan beberapa negara lainnya. Penyebaran bahan kimia yang dilakukan pasukan Amerika di Vietnam berjenis Agent Orange di pemukiman penduduk, hutan, dan lahan pertanian merusak sumber daya alam dalam waktu panjang. Demikian pula penggunaan bahan kimia berjenis white phosphorus di Irak oleh serdadu Amerika yang dapat membuat korban meleleh.

Dampak negatif iptek tidak hanya terjadi di wilayah perang, di desa dan perkotaan pun hal sama terjadi di masa damai berupa penggunaan pupuk kimia yang semula dimaksudkan untuk menyuburkan tanah dan tanaman, justeru mencemari lingkungan sekitar karena terbawa air, bahkan membunuh mikro organisme, sehingga mengganggu keseimbangan flora. Penggunaan alat-alat kontrasepsi sepert IUD atau spiral untuk mencegah kehamilan dalam bidang medis bukannya tanpa resiko,misalnya: pendarahan, infeksi. Banyak lagi contoh problem yang muncul justeru paska kelahiran sebuah iptek seperti: limbah industri, limbah sampah plastik, dan lain-lain yag menimbulkan kerusakan lingkungan. Ini berarti tidak ada iptek yang sempurna, yang penting menjadi bahan pertimbangan adalah nilai apakah yang melandasi kehadiran iptek di masyarakat?  Seberapa besar peran nilai dalam pengembangan iptek? Mungkinkah pengembangan iptek itu kalis dari pengaruh nilai – hal yang selama ini didengungkan oleh penganut positivistis ? Disinilah pentingnya mempertimbangkan kajian aksiologi ilmu sebagai sarana bagi pengembangan iptek berwajah kemanusiaan.

**

Aksiologi ilmu merupakan salah satu cabang filsafat yang membicarakan tentang persoalan dan peran nilai dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Van Melsen menggunakan istilah tanggung jawab ilmu pengetahuan atas masa depan seperti gangguan terhadap keseimbangan alam sebagai dampak pembasmian kimiawi dari hama tanaman, sistem perairan, keseimbangan jumlah penduduk. Dalam hal ini keberatsebelahan menandai setiap campur tangan manusia, sehingga dituntut tanggung jawab yang menimbulkan problem etis yakni ketegangan antara realitas yang ada dengan realitas yang seharusnya  (van Melsen, 1985: 69).  Problem etis atau dilemma etis yang muncul di tengah kehadiran iptek menunjukkan bahwa ada kesulitan yang tak terelakkan, suatu faktisitas yang mengiringi dinamika perkembangan iptek. Di satu sisi manusia – terutama para ilmuwan – dituntut menghasilkan karya-karya ilmiah yang inovatif, kreatif, berdaya dan berhasil guna bagi masyarakat, namun di pihak lain produk iptek ternyata membawa serta resiko yang harus ditanggung oleh masyarakat. Bola berada di tangan ilmuwan, namun manakala bola itu sudah digelindingkan, maka gerak liar bola tersebut sudah tidak dapat lagi dikuasai oleh para ilmuwan. Disinilah mulai terjadi pertarungan nilai kebaikan dan keburukan dalam arti yang sebenarnya (good and bad). Baik dan buruk menurut Archie Bahm (1984) merupakan dua hal yang berlawanan (the opposite of), bisa bersifat lebih (more) atau kurang (less), setiap manusia mengalaminya (experience), sehingga tugas utama manusia adalah memaksimalkan kebaikan (maximize good) dan meminimalkan keburukan (minimize bad). Disinilah justeru letak persoalannya, sebab bagaimana ilmuwan dapat menentukan tolok ukur baik dan buruk atas sebuah karya ilmiah yang dihasilkannya manaka seluruh pikirannya dicurahkan semata-mata untuk memproduk sesuatu tanpa mempertimbangkan wilayah pre-scientific dan post-scientific. Kedua wilayah tersebut justeru terletak di luar bangunan arsitektural ilmiah. Wilayah pre-scientific terletak di ranah persangkaan, dugaan (presupposition) yang mulai ditinggalkan ilmuwan manakala sudah merambah ke ranah ilmiah murni. Adapun wilayah post-scientific jarang dipertimbangkan ketika produk sudah selesai dengan alasan proyek sudah selesai. Ilmuwan sebagian besar sudah tak punya kuasa (powerless), karena sekarang bola ada di tangan para pemilik modal yang mengendalikan sepenuhnya dengan satu tujuan utama, yakni keuntungan (profit). Ahli-ahli periklanan sebagaimana yang digambarkan dalam film Branded memegang peran besar untuk memasarkan produk iptek dengan berbagai cara untuk menaikkan target penjualan. Lihatalh bagaimana kendaraan roda dua dan roda empat memenuhi jalan-jalan di berbagai kota, namun produk kendaraan otomotif bersaing semakin ketat untuk meningkatkan penjualan dan menarik pembeli, tanpa menghiraukan kemacetan yang terjadi di mana-mana.

Ada beberapa problem aksiologi ilmu yang sangat krusial di era kontemporer yang perlu mendapat perhatian kita.

Pertama; klaim objektivitas ilmiah yang didengungkan para ilmuwan (terutama kaum positivist), sehingga menafikan peran nilai dalam aktivitas ilmiah. Peran nilai (budaya, ideologi, agama) diharamkan oleh penganut positivist karena dianggap mengintervensi  hukum-hukum ilmiah yang bersifat otonom.

Kedua; intervensi yang berlebihan atas kerja ilmiah, sehingga mengganggu otonomi dan kebebasan akademis yang dimiliki oleh para ilmuwan. Intervensi bisa muncul dari ranah agama, ideologi, politik, budaya. Contoh yang baru-baru ini terjadi ketika dalam diskusi ilmiah seorang pakar gempa memprediksi terjadi tsunami di wilayah Pangandaran, Jawa Barat.

Ketiga; kegamangan yang menghinggapi para ilmuwan ketika dalam uji coba penelitian yang dilakukan, mereka mendapat penentangan dari kalangan tertentu yang tidak setuju dengan proyek uji coba yang dilakukan. Misalnya: Uji coba di laboratorium dengan menggunakan hewan percobaan ditentang oleh komunitas penyayang binatang.

Problem pertama yang terkait dengan klaim kebenaran objektif di kalangan positivist dapat diajukan pertanyaan sebagai berikut: apa yang dimaksud dengan kebenaran objektif itu? Apakah kebenaran yang terlepas dari keputusan ilmuwan sebagai subjek pengamat, ataukah kebenaran yang didukung bukti-bukti empiris yang kuat? Kalau ilmuwan yang bersangkutan menjawab bahwa kebenaran objektif itu merupakan suatu bentuk kebenaran yang terlepas dari keputusan ilmuwan sebagai subjek pengamat, maka dapat diajukan keberatan, apa peran ilmuwan dalam proses kegiatan ilmiah? Mungkinkah sebuah kegiatan ilmiah berjalan tanpa peran ilmuwan sama sekali? Kalau ilmuwan menjawab bahwa kebenaran objektif merupakan bentuk kebenaran yang didukung bukti-bukti empiris yang kuat, maka dapat diajukan keberatan, apakah setiap pengamatan atas bukti-bukti empiris terjamin kebenarannya? Apa jaminan bahwa pengamatan ilmuwan tidak kalis terhadap kesalahan?  Seorang ilmuwan harus menjadi single-minded dan menghargai dirinya sendiri. Oleh karena itu kecintaannya pada kebenaran akan melarutkan dirinya pada jalan ilmiah. Beberapa sikap ilmiah yang ditengarai Peirce dalam karyanya The Scientific Attitude And Fallibilism antara lain; bekerja secara jujur, mencintai kebenaran, bersikap terbuka, menghargai dirinya sendiri, otonom (Peirce, 1998). Sikap ilmiah yang dijunjung tinggi Peirce adalah fallibilisme, yaitu penyelidikan ilmiah yang progresif akan membawa seseorang kepada perubahan yang berlangsung secara terus menerus. Peirce percaya pada chance, peluang, artinya keteraturan alam itu tidak pernah sempurna, tidak ada sesuatu yang pasti. Namun ujar Peirce, doktrin fallibilism  jangan disalahpahami bahwa dua kali dua tidak harus sama dengan empat. Falllibilisme perlu diletakkan dalam konteks sikap kritis ilmuwan dalam mencapai pengetahuan yang benar dengan menciptakan dan mengembangkan pikirannya sendiri secara kreatif (Peirce, 1998).   Di sini terlihat peran ilmuwan justeru dominan meskipun dalam disiplin ilmu-ilmu eksak, karena membelenggu pikiran ilmuwan justeru akan mematikan kreativitasnya.

Problem kedua yang terkait dengan intervensi yang berlebihan atas kerja ilmiah merupakan bentuk pelemahan atas kedaulatan ilmiah. Proses ilmiah berada di tangan ilmuwan, sehingga harus ada trust ataupun pengakuan terhadap kedaulatan ilmiah, hal ini akan menjamin ilmuwan bekerja dengan sepenuh hati. Intervensi memang tidak dapat dihindarkan, namun seharusnya dapat diminimalisasi supaya tidak mengganggu kinerja ilmuwan. Apalagi gangguan yang sifatnya mengancam, mengultimatum setiap keputusan, diskusi, pemikiran ilmiah yang berpeluang untuk salah. Benar dan salah sudah berupakan resiko tak terhindarkan dalam sebuah aktivitas ilmiah. Tidak ada sebuah keputusan ilmiah yang bersifat sekali jadi, karena selalu terjadi proses dengan berbagai pertimbangan yang bersifat open minded, sehingga mungkin ada proses pengulangan, kesalahan, penyempurnaan, penerimaan di kalangan anggota-angota komunitas ilmiah, dan sebagainya. Kebenaran ilmiah tidak boleh diintervensi secara vulgar oleh pihak lain (apalagi penguasa) sebelum mendapat pertimbangan dari ikatan profesi ilmiah tertentu.

Problem ketiga yang terkait dengan penentangan pihak lain yang tidak setuju dengan proyek uji coba yang melibatkan mahluk hidup merupakan suatu dilemma yang perlu mempertimbangkan resiko yang terjadi. Prinsipnya hewan percobaan juga merupakan mahluk hidup yang berhak menikmati hidup yang nyaman, tidak tersakiti, tidak teraniaya, sehingga perlu memperoleh perlindungan keamanan hidupnya. Percobaan yang membahayakan satu jenis mahluk dengan tujuan untuk kemaslahatan mahluk hidup yang lain perlu pertimbangan nilai yang matang, karena bahaya atas hidup satu mahluk tak tergantikan oleh keselamatan mahluk hidup lainnya. Hal ini lebih dikenal dengan pengorbanan, kalaulah itu yang terjadi maka pengorbanan setidaknya diminimalisasi agar tidak semata-mata diorientasikan bagi keselamatan mahluk hidup lainnya. Ilustrasi yang terjadi dalam dunia medis ketika seorang ibu hamil akan dioperasi karena ada bahaya atas si bayi dalam janin dan si ibu yang mengandung, maka manakah yang harus diselamatkan terlebih dahulu? Jawaban atas dilemma semacam ini tidak selalu mudah untuk dicarikan solusinya mengingat begitu kompleksnya persoalan yang muncul dan situasinya bisa sangat berbeda-beda. Satu hal yang jelas pertimbangan ilmuwan secara subjektif diperkenankan dalam dunia ilmiah sebagaimana yang ditengara Sarkar Husin (1997) sebagai bentuk pertimbangan subjektif (subjective Considerations) yang mencakup aspek estetis, historis, personal, kepentingan bangsa, dan keistimewaan atau keanehan (Idiosyncrasy).

**

Wusana kata bagi artikel ini memberikan penekanan yang kuat justeru bagi otnomi atau kedaulatan ilmuwan, meskipun hal tersebut tidak boleh mengabaikan tanggung jawab etis yang harus diembannya. Setiap ilmuwan akan selalu dihadapkan pada berbagai alternatif yang mungkin terjadi dalam pengembangan iptek yang terus berkembang dan berubah seiring dengan tuntutan jaman, namun seorang ilmuwan tidak diperkenankan mengorbankan kepentingan kemanusiaan untuk mengejar kepentingan lainnya seperti: popularitas, materi, kedudukan, dan sebagainya. Ketika iptek hadir di tengah masyarakat, maka di sana prestise, harkat dan martabat serta keluhuran budi ilmuwan ikut dipertanggungjawabkan atas nama semangat profesionalitas.

***


SUMBER ACUAN

Bahm, Archie J., 1984, Axiology: The Science of Value, Albuquerque, New Mexico.

Chalmers, A.F., Apa Yang Dinamakan Ilmu Itu? (Judul Asli: What is this thing called Science?), Penerbit Hasta Mitra, Jakarta.

Husain, Sarkar: 1997, The Task of Group Rationality: The Subjectivist’s View

Melsen, van, A.G.M., 1985, Wetenschap en Verantwoordelijjkheid, Diterjemahkan oleh: Bertens (Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita), Gramedia, Jakarta.

Peirce, C.S.,  1998, Science and Philosophy, Volume 7, Edited by Arthur W.Burks,  Collected Papers of Charles Sanders Peirce, Thoemmes Press, England.

Rollin, Bernard E., Science and Ethics, Cambridge University Press.

Relasi Ilmu Dan Nilai Dalam Perspektif Filsafat Ilmu; Sebuah Benang Merah Pandangan Islam

Aksiologi IlmuIlmu dan Nilai Tuesday, 28 November 2017

Ketika ilmu Pengetahuan di Eropah berkembang sangat pesat pasca Renaissance, padahal sebelumnya peradaban manusia lebih dikuasai oleh kaum theolog yang kedudukannya dianggap setara dengan para ilmuwan. Artinya ilmuwan pada masa itu berkedudukan sebagai theolog atau sebaliknya theolog yang berkedudukan sebagai ilmuwan, sehingga pemikiran ilmiah bercampur dengan doktrin agama. Keadaan semacam ini menimbulkan berbagai dampak. Dampak pertama berupa peran ganda yang dimainkan theolog sebagai ilmuwan atau ilmuwan sebagai theolog menjadikan objektivitas ilmiah sulit untuk ditegakkan. Dampak kedua adalah kehadiran pemikiran ilmiah yang bercampur aduk dengan doktrin keagamaan, sehingga terjadi kegamangan dalam aktivitas ilmiah. Dampak ketiga berupa intervensi doktrin keagamaan ke dalam prosedur ilmiah telah menisbikan proses sekaligus produk ilmiah, sehingga netralitas ilmu menjadi terganggu.

Hal yang terjadi di Eropa sebagaimana dikemukakan di atas itu tidaklah terjadi dalam peradaban Islam. Ali Kettani, salah seorang pemikir Islam kontemporer menengarai bahwa peradaban Islam di abad pertengahan justeru mengalami jaman keemasan (Golden Age) yang ditandai dengan didirikannya Baytul Hikmah di Bagdad sebagai sarana ilmiah yang representatif pada masa itu dengan berbagai koleksi karya ilmiah. Lebih lanjut Ali Kettani menegaskan karakteristik peradaban Islam pada masa itu ditandai dengan beberapa ciri seperti: Universalisme yang mengatasi semangat parokialisme; penghargaan yang tinggi terhadap para ilmuwan (respectiveness); toleransi di kalangan ilmwan dari berbagai agama; pemasaran internasional bagi produk ilmiah. Parvez Mansoor, salah seorang pemikir Islam lainnya menambahkan karakteristik penting, yaitu kesesuaian antara sarana (means) dan tujuan (ends) sejalan dengan norma-norma agama. Penanda terakhir ini yang menjadi fokus kajian dalam artikel ini, karena dahsyatnya pengaruh Renaissance di Eropa dalam kehidupan ilmiah di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia, menjadikan relasi antara ilmu dan nilai tidak begitu harmonis, bahkan nilai atau norma-norma agama dianggap sebagai pengganggu bagi pengembangan ilmiah.  Bagaimana relasi ilmu dan nilai dalam kehidupan ilmiah sekarang ini? Bagaimana peran agama (Islam) dalam membangun kondisi yang kondusif bagi perkembangan ilmu? Persoalan inilah yang akan ditelusuri lebih lanjut dalam artikel ini.

Tulisan selengkapnya dapat anda baca disini

[E-Book] AFTER POPPER, KUHN AND FEYERABEND

Epistemologi Ilmu Saturday, 29 July 2017

AUSTRALASIAN STUDIES IN HISTORY AND PHILOSOPHY OF SCIENCE VOLUME 15 General Editor: R. W. HOME, University of Melbourne

Some of the papers in this volume were initially given at a combined one-day meeting of the Australasian Association for Philosophy and the Australasian Association for the History, Philosophy and Social Studies of Science held in Auckland in July 1997 as part of ‘Phil fest 97’. The organisers thought it would be appropriate to commemorate the three well known philosophers of science who had made a major contribution to theories of scientific method and whose recent departure from the world scene in effect marked the end of an era in the subject. The theme title, which is the first half of the title of this book, reflected the influence that Karl Popper (1902-94), Thomas Kuhn (1922-96) and Paul Feyerabend (1924-94) have had on our conception of scientific method. Also both Popper and Feyerabend had had personal associations with New Zealand owing to the time they had spent in the country as teachers of philosophy. The papers presented at the joint meeting appear in a revised form in this book. Since other papers at the conference were promised elsewhere we also contacted other philosophers who were willing to make a contribution to more recent developments in theories of method in line with the announced conference theme.

Despite their many differences the one thing that Popper, Kuhn and Feyerabend had in common was that they rejected inductivist methods in science. To those working in the field of methodology, the most prominent development of the last 20 years or so has been the emergence of Bayesian accounts of scientific method. Though Bayesianism is different in many ways from classical inductivism, it is today’s heir of the inductivism against which Popper, Kuhn and Feyerabend developed (in part) their views on method. Thus the negative guideline which constrained the choice of contributions to the book: it would not cover areas in recent approaches to methodology which were either inductivist, or probabilist or Bayesian.There is in any case a readily available burgeoning literature on Bayesian methods in science. From this exclusion it should not be concluded that the contributors to the volume are necessarily anti-Bayesian; as will be seen some are while others are not. Rather there is ongoing research in methodology which does not necessarily take its cue from the probabilistic approach that informs Bayesianism. Since this alternative area of research is quite broad and has many facets, not all of it can be represented in a collection of this sort; what appears here is merely indicative of work in the area.

Some have commented that the title does not reflect adequately the work of others who were also important contributors to the Popper, Kuhn and Feyerabend debates. One was Lakatos whose contribution was considerable but was cut short by his untimely death in 1974. In the light of this it has been suggested that we should have entitled the book ‘After Pop-Lak-Kuhn-Abend’, using David Stove’s irreverent name for the quartet of ‘irrationalists’ he liked to lampoon. As tempting as this suggestion was, we have resisted it. Again some have commented that we fail to acknowledge the considerable contribution made by Carl Hempel (who died in November 1997) to philosophy of science, particularly in the areas of confirmation, induction and scientific rationality which are relevant to the book’s theme. But since our project had already been launched earlier in 1997, the first half of the book’s title has remained as originally planned with its imperfect connotations.

In reviewing the original proposal for a book on the announced theme, some on the Editorial Board of the ASHPS series, and others, wondered whether our proposal was more flogging of the well dead horse of scientific method. It is a common view that the heydays of theories of scientific method are truly over and that current conceptions of science leave little, or no, room for a role for methodology. Kuhn and Feyerabend are said, rightly or wrongly, to have played a significant role in methodology’s demise. Methodology, it is commonly thought, has been superseded by sociological studies, or by a post-modernist approach (whatever that might be). Since this is a widespread view, it gave extra urgency to our project which is to show that there is still life to be found in research into methodology despite the sociologists of science and despite a sense of fin de methode engendered by the Pop-Lak-Kuhn-Abend debates. There are issues still to be addressed in their debates, and there is still work to be done in bringing methodological theories into accord with history of science. But more than this, new paths are being struck in research into methodology that have an independence and vitality of their own.

Continue reading

[E-Book] A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth edition by John Losee

Aksiologi IlmuEpistemologi IlmuOntologi Ilmu Friday, 28 July 2017

A decision on the scope of the philosophy of science is a precondition for writing about its history. Unfortunately, philosophers and scientists are not in agreement on the nature of the philosophy of science. Even practising philosophers of science often disagree about the proper subject-matter of their discipline. An example of this lack of agreement is the exchange between Stephen Toulmin and Ernest Nagel on whether philosophy of science should be a study of scientific achievement in vivo, or a study of problems of explanation and confirmation as reformulated in the terms of deductive logic.1 To establish a basis for the subsequent historical survey, it will be helpful to sketch four viewpoints on the philosophy of science.

One view is that the philosophy of science is the formulation of worldviews that are consistent with, and in some sense based on, important scientific theories. On this view, it is the task of the philosopher of science to elaborate the broader implications of science. This may take the form of speculation about ontological categories to be used in speaking about “beingas-such”. Thus Alfred North Whitehead urged that recent developments in physics require that the categories ‘substance’ and ‘attribute’ be replaced by the categories ‘process’ and ‘influence’.2 Or it may take the form of pronouncements about the implications of scientific theories for the evaluation of human behaviour, as in Social Darwinism and the theory of ethical relativity. The present study is not concerned with “philosophy of science” in this sense.

A second view is that the philosophy of science is an exposition of the presuppositions and predispositions of scientists. The philosopher of science may point out that scientists presuppose that nature is not capricious, and that there exist in nature regularities of sufficiently low complexity to be accessible to the investigator. In addition, he may uncover the preferences of scientists for deterministic rather than statistical laws, or for mechanistic rather than teleological explanations. This view tends to assimilate philosophy of science to sociology.

A third view is that the philosophy of science is a discipline in which the concepts and theories of the sciences are analysed and clarified. This is not a matter of giving a semi-popular exposition of the latest theories. It is, rather, a matter of becoming clear about the meaning of such terms as ‘particle’, ‘wave’, ‘potential’, and ‘complex’ in their scientific usage.

But as Gilbert Ryle has pointed out, there is something pretentious about this view of the philosophy of science—as if the scientist needed the philosopher of science to explain to him the meanings of scientific concepts.3 There would seem to be two possibilities. Either the scientist does understand a concept that he uses, in which case no clarification is required. Or he does not, in which case he must inquire into the relations of that concept to other concepts and to operations of measurement. Such an inquiry is a typical scientific activity. No one would claim that each time a scientist conducts such an inquiry he is practising philosophy of science. At the very least, we must conclude that not every analysis of scientific concepts qualifies as philosophy of science. And yet it may be that certain types of conceptual analysis should be classified as part of the philosophy of science. This question will be left open, pending consideration of a fourth view of the philosophy of science. A fourth view, which is the view adopted in this work, is that philosophy of science is a second-order criteriology. The philosopher of science seeks answers to such questions as: 1. What characteristics distinguish scientific inquiry from other types of investigation? 2. What procedures should scientists follow in investigating nature? 3. What conditions must be satisfied for a scientific explanation to be correct? 4. What is the cognitive status of scientific laws and principles? To ask these questions is to assume a vantage-point one step removed from the practice of science itself. There is a distinction to be made between doing science and thinking about how science ought to be done. The analysis of scientific method is a second-order discipline, the subject-matter of which is the procedures and structures of the various sciences.

The fourth view of the philosophy of science incorporates certain aspects of the second and third views. For instance, inquiry into the predispositions of scientists may be relevant to the problem of evaluating scientific theories. This is particularly true for judgements about the completeness of explanations. Einstein, for example, insisted that statistical accounts of radioactive decay were incomplete. He maintained that a complete interpretation would enable predictions to be made of the behaviour of individual atoms. level discipline subject-matter 1 Philosophy of Science Analysis of the Procedures and Logic of Scientific Explanation  Science Explanation of Facts  Facts  introduction In addition, analyses of the meanings of concepts may be relevant to the demarcation of scientific inquiry from other types of investigation. For instance, if it can be shown that a term is used in such a way that no means are provided to distinguish its correct application from incorrect application, then interpretations in which the concept is embedded may be excluded from the domain of science. Something like this took place in the case of the concept ‘absolute simultaneity’. The distinction which has been indicated between science and philosophy of science is not a sharp one. It is based on a difference of intent rather than a difference in subject-matter. Consider the question of the relative adequacy of Young’s wave theory of light and Maxwell’s electromagnetic theory. It is the scientist qua scientist who judges Maxwell’s theory to be superior. And it is the philosopher of science (or the scientist qua philosopher of science) who investigates the general criteria of acceptability that are implied in judgements of this type. Clearly these activities interpenetrate. The scientist who is ignorant of precedents in the evaluation of theories is not likely to do an adequate job of evaluation himself. And the philosopher of science who is ignorant of scientific practice is not likely to make perceptive pronouncements on scientific method. Recognition that the boundary-line between science and philosophy of science is not sharp is reflected in the choice of subject-matter for this historical survey. The primary source is what scientists and philosophers have said about scientific method. In some cases this is sufficient. It is possible to discuss the philosophies of science of Whewell and Mill, for example, exclusively in terms of what they have written about scientific method. In other cases, however, this is not sufficient. To present the philosophies of science of Galileo and Newton, it is necessary to strike a balance between what they have written about scientific method and their actual scientific practice. Moreover, developments in science proper, especially the introduction of new types of interpretation, subsequently may provide grist for the mill of philosophers of science. It is for this reason that brief accounts have been included of the work of Euclid, Archimedes, and the classical atomists, among others.

Continue for reading

Universitas Gadjah Mada

Alamat Kami

Jl. Olahraga, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY