Mengenal Thomas Samuel Kuhn pada Bagian I ini akan membahas tentang hidup Kuhn, latar belakang Pendidikan, dan Karier Thomas Kuhn selama hidupnya.
Ilmu
Oleh: Galuh Nur Fattah, S.Fil
Bali adalah salah satu pulau dengan daya tarik pariwisata dan merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Pada umumnya mayoritas masyarakat Bali memeluk agama Hindu, secara singkat dapat dijelaskan bahwa agama Hindu atau Hinduisme yang berkembang di Bali hampir sama dengan Hinduisme yang pernah mengakar kuat di Pulau Jawa dan merupakan salah satu sekte agama Hindu yang memiliki kedudukan penting yang muncul di India sebelum tahun 500 M[1]. Dalam penelusuran yang dilakukan oleh Haryati Soebadio[2], menemukan bahwa sekte yang mempengaruhi perkembangan agama Hindu di Bali dan Jawa dikenal dengan nama Saivasiddhanta yang sangat merepresentasikan ajaran Siva (Siwa). Sampai saat ini belum ditemukan telaah-telaah komparatif yang memperlihatkan secara langsung hubungan ajaran Saivasiddhanta yang ada di India Selatan dengan yang ada di Bali. Jadi dapat ditarik sebuah kesimpulan sementara bahwa ada sebuah perbedaan pokok di antara keduanya.
Ilmu Arkeologi dalam hal ini tidak bisa lepas dari pertimbangan pertimbangan nilai, nilai-nilai yang berada di luar kajian Aksiologi selalu menghantui Ilmu Arkeologi dalam penerapannya, baik itu nilai- nilai keagamaan, dan nilai-nilai yang beralku di komunitas sosial.
Adanya tuntutan terhadap Ilmu Arkeologi yang harus menghormati nilai-nilai sosialitas, menggerakan ilmuwan untuk menyusun dasar dasar etis dalam penerapan ilmu Arkeologi
Ilmu terkadang tidak lepas dari dinamika masyarakat, ilmu selalu terkait terhadap susunan sosial suatu masyarakat sehingga mengakibatkan ilmuwan tidak dapat berdiri sendiri atau lepas dari kontribusi masyarakat, untuk tujuan pengembangan ilmu.
Kehadiran masyarakat dalam pengembangan ilmu membawa ilmuwan pada pertanyaan besar apakah ilmuwan harus tunduk pada kepentingan masyarakat atau ilmuwan harus profesional dan tidak harus mementingkan keadaaan masyarakat, sejauh penelitian tersebut berhasil?
Sebagai salah satu local wisdom (kearifan lokal), tradisi nyadran memiliki nilai-nilai tasawuf sosial yang erat kaitannya antara manusia (hablum minannas), alam (hablum minalalam), dan Tuhan (hablum minallah). Selama ini banyak tradisi lokal memiliki nilai-nilai tasawuf tinggi. Selain nyadran, di Nusantara ini ada tradisi sedekah bumi (kabumi), sedekah laut (kalaut), megengan, maleman, krayahan, bacakan, gas deso, apeman, oncoran, dan lainnya.
Meski nilai-nilai dalam nyadran tinggi, namun masih sedikit yang meneliti dan mengembangkannya sebagai ilmu tasawuf. Saat ini, masyarakat justru terjebak pada faham takfiri (mengafirkan), tabdi’ (mebidahkan), dan tasyri’ (mensyirikkan). Mereka belum meneliti, mengkaji secara ontologi, epistemologi, dan aksiologi, namun buru-buru mengklaim dan mengasumsikan secara subjektif.
Ketika ilmu dan teknologi (iptek) hadir di ranah akademis dan di tengah kehidupan masyarakat tak terbayangkan berbagai dampak – positif maupun negatif – akan muncul seperti yang kita alami sekarang ini. Betapa waktu kita begitu tersita oleh iptek yang semula dimaksudkan untuk memangkas waktu dengan efisiensi, betapa tenaga dan pikiran kita terkuras oleh iptek yang semula dimaksudkan untuk membantu meringankan beban kita, betapa deras arus informasi menghanyutkan kita yang semula dimaksudkan untuk menambah pengetahuan kita tentang sesuatu, betapa tereksploitasinya alam oleh kedahsyatan iptek yang semula dimaksudkan untuk mempermudah pekerjaan kita beriring dengan alam, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu terjadi lantaran manusia berhenti sebagai majikan atas iptek dan beralih menjadi asisten (istilah keren untuk pembantu atau pelayan), padahal seharusnya iptek mempertimbangkan segala bentuk resiko yang berimbas bagi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Namun realita yang terjadi memperlihatkan kosokbalinya, bahwasanya acapkali kehadiran iptek justeru membawa perubahan yang drastis, sehingga menimbulkan berbagai ekses yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga acapkali merugikan dan menyengsarakan manusia sebagaimana yang ditengara di atas. Aneh tapi nyata, masyarakat awam yang tidak tahu bagaimana proses iptek terbentuk justeru terkena imbas yang paling awal, paling besar, dan paling dirugikan, bahkan di beberapa kasus, masyarakat awam dijadikan sebagai lahan uji coba pengembangan iptek.
Ketika ilmu Pengetahuan di Eropah berkembang sangat pesat pasca Renaissance, padahal sebelumnya peradaban manusia lebih dikuasai oleh kaum theolog yang kedudukannya dianggap setara dengan para ilmuwan. Artinya ilmuwan pada masa itu berkedudukan sebagai theolog atau sebaliknya theolog yang berkedudukan sebagai ilmuwan, sehingga pemikiran ilmiah bercampur dengan doktrin agama. Keadaan semacam ini menimbulkan berbagai dampak. Dampak pertama berupa peran ganda yang dimainkan theolog sebagai ilmuwan atau ilmuwan sebagai theolog menjadikan objektivitas ilmiah sulit untuk ditegakkan. Dampak kedua adalah kehadiran pemikiran ilmiah yang bercampur aduk dengan doktrin keagamaan, sehingga terjadi kegamangan dalam aktivitas ilmiah. Dampak ketiga berupa intervensi doktrin keagamaan ke dalam prosedur ilmiah telah menisbikan proses sekaligus produk ilmiah, sehingga netralitas ilmu menjadi terganggu.
AUSTRALASIAN STUDIES IN HISTORY AND PHILOSOPHY OF SCIENCE VOLUME 15 General Editor: R. W. HOME, University of Melbourne
Some of the papers in this volume were initially given at a combined one-day meeting of the Australasian Association for Philosophy and the Australasian Association for the History, Philosophy and Social Studies of Science held in Auckland in July 1997 as part of ‘Phil fest 97’. The organisers thought it would be appropriate to commemorate the three well known philosophers of science who had made a major contribution to theories of scientific method and whose recent departure from the world scene in effect marked the end of an era in the subject. The theme title, which is the first half of the title of this book, reflected the influence that Karl Popper (1902-94), Thomas Kuhn (1922-96) and Paul Feyerabend (1924-94) have had on our conception of scientific method. Also both Popper and Feyerabend had had personal associations with New Zealand owing to the time they had spent in the country as teachers of philosophy. The papers presented at the joint meeting appear in a revised form in this book. Since other papers at the conference were promised elsewhere we also contacted other philosophers who were willing to make a contribution to more recent developments in theories of method in line with the announced conference theme.
A decision on the scope of the philosophy of science is a precondition for writing about its history. Unfortunately, philosophers and scientists are not in agreement on the nature of the philosophy of science. Even practising philosophers of science often disagree about the proper subject-matter of their discipline. An example of this lack of agreement is the exchange between Stephen Toulmin and Ernest Nagel on whether philosophy of science should be a study of scientific achievement in vivo, or a study of problems of explanation and confirmation as reformulated in the terms of deductive logic.1 To establish a basis for the subsequent historical survey, it will be helpful to sketch four viewpoints on the philosophy of science.